Eks Kepala PPATK Yunus Husein berbicara mengenai unsur pidana tentang 100 surat dari 300 surat terkait heboh transaksi janggal Rp 349 triliun. Yunus menyebut 100 surat PPATK yang dikirim ke Aparat Penegak Hukum (APH) itu diduga kuat terkait korupsi besar.
Pernyataan Yunus diterangkan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta. Yunus mulanya menyebut laporan hasil analis (LHA) dan laporan hasil pemeriksaan (LHP) PPATK bukanlah produk final.
"Apakah LHA produk final, jawabannya bukan, dan LHA dan LHP bukan alat bukti juga. Karena dalam standar internasional bukan alat bukti, karena informasi intelijen bukan alat bukti. BIN (badan intelijen negara) saja nggak bisa jadi alat bukti, kecuali ada penetapan pengadilan," ujar Yunus dalam rapat, Kamis (6/4/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yunus mengatakan posisi PPATK sama seperti intelijen di bidang ekonomi. Meski demikian, hasil laporannya ditindaklanjuti apabila bisa dibuktikan oleh penyidik.
"Apa yang menentukan? Tetap si penyidik, kalau ini pasti TPPU nggak? harus dilakukan penyelidikan dulu, ada pidana, ada pelakunya, tidak bisa begitu saja," ujar Yunus.
Ia kemudian menyinggung 300 surat dari PPATK kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Yunus mengatakan 100 surat di antaranya dikirim ke Aparat Penegak Hukum (APH) dan menjadi indikasi kuat adanya unsur pidana.
"Data Kemenkeu ini ada 100 ke APH. Ini cukup menarik, yang diberikan ke penegak hukum ada 100 ya. Sebenarnya kalau PPATK sudah berani memberikan ke penegak hukum, indikasi pidananya kuat sebenarnya. Dan ini harus dilakukan penyelidikan," ujar Yunus.
"Ini ada 100 (surat LHA) ini ada yang tidak diberikan ke Kemenkeu. Harus dilakukan penyelidikan. Indikasi saya tak sempat tanya (ke pihak PPATK)," sambungnya.
Yunus menyebut sempat bertanya ke analis PPATK terkait surat diberikan ke APH. Ia menyebut 100 surat itu termasuk pidana korupsi.
"Kenapa Anda kasih ke APH? Saya tanya ke analis PPATK. 'Ini yang besar-besar Pak.' Apa predikat crime-nya? Korupsi ternyata. Jadi itu yang dikasih terpisah ke APH, tetapi tak diberikan ke Menkeu," ujar Yunus.
"Saya tanya lagi, 'lalu yang dikasih ke Kemenkeu yang mana?', Itu gratifikasi, suap yang kecil-kecil ternyata," imbuh Yunus.
Menurut Yunus jika data analisis sudah diberikan ke APH. Maka indikasi tindak pidananya semakin kuat.
"Jadi kalau langsung ke APH itu indikasi pidananya cukup kuat. Kalau nggak, ya percuma dia analisis kerja dengan ilmu yang ada dan data base yang ada," sambungnya.
Untuk diketahui, pada rapat bersama Komisi XI DPR RI, Menkeu Sri Mulyani membagi 300 surat dari PPATK menjadi 3 bagian yaitu 100 surat, 135 surat, dan 65 surat:
- 100 surat dengan nilai transaksi Rp 74 triliun dari periode 2009-2023 yang ditujukan PPATK ke aparat penegak hukum lain.
- 65 surat dengan nilai transaksi Rp 253 triliun, yang isinya adalah transaksi debit/kredit operasional perusahaan-perusahaan dan korporasi yang disebut Sri Mulyani tidak berhubungan dengan pegawai Kemenkeu. Di antara 65 surat itu ada 1 surat yang disebut Sri Mulyani yang paling menonjol karena memiliki angka yang paling tinggi yaitu Rp 189 triliun.
- 135 surat dengan nilai Rp 22 triliun, yang isinya transaksi-transaksi yang berhubungan dengan pegawai Kemenkeu.
"Sehingga yang benar-benar berhubungan dengan kami, ada 135 surat nilainya Rp 22 triliun, bahkan Rp 22 triliun ini, Rp 18,7 triliun itu juga menyangkut transaksi korporasi yang tidak berhubungan dengan pegawai Kemenkeu. Jadi yang benar-benar nanti yang berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu 3,3 triliun, ini 2009-2023, 15 tahun seluruh transaksi debit kredit termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, jual beli aset, jual beli rumah itu Rp 3,3 triliun dari 2009-2023," sebut Sri Mulyani.
Simak Video 'Beda Penjelasan Mahfud dan Srimul soal Data Transaksi Janggal Rp 349 T':