Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti polemik transaksi janggal Rp 349 triliun yang datanya sempat berbeda antara Ketua Komite Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Mahfud Md dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dia menilai saling tuding kesalahan penyampaian data memperlihatkan buruknya koordinasi.
"Saling tuding kesalahan penyampaian data oleh Menko Polhukam dan Menkeu memperlihatkan buruknya koordinasi dan komunikasi antar keduanya. Padahal, mereka tergabung dalam Tim Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Rabu (5/4/2023).
Kurnia mengaku curiga banyak laporan dari Pusat Pelaporan Data dan Transaksi Keuangan (PPATK) yang tidak ditindaklanjuti oleh tim tersebut. Dia menyebut tim tersebut belum bekerja maksimal jika benar masih ada laporan transaksi janggal yang belum ditindaklanjuti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Poin terpenting saat ini adalah melihat efektivitas dari kerja tim komite tersebut. Kami mencurigai banyak LHP/LHA dari PPATK yang tidak ditindaklanjuti sehingga mengakibatkan penerapan regulasi antipencucian uang sangat rendah. Jika dugaan kami benar, maka tim komite itu belum bekerja maksimal," tuturnya.
Kurnia mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR mengevaluasi pola koordinasi PPATK dengan aparat penegak hukum (APH).
"Guna mengatasi hal tersebut, baik Presiden maupun DPR harus mengevaluasi total pola koordinasi selama ini antar aparat penegak hukum dengan PPATK," imbuhnya.
Kemenkeu Sebut Tak Ada Perbedaan Data Rp 349 Triliun
Sebelumnya, Wamenkeu Suahasil Nazara menegaskan tidak ada perbedaan data dengan Mahfud Md terkait transaksi janggal Rp 349 triliun di Kemenkeu. Pada dasarnya data tersebut sama, hanya pengklasifikasiannya yang berbeda.
"Menteri Keuangan menyampaikan di Komisi XI, Pak Menko (Mahfud Md) menyampaikan di Komisi III, hari ini saya tunjukin sama, itu esensinya. Data itu klasifikasinya saja yang beda, begitu klasifikasinya disetel dikit, sama," kata Suahasil dalam media briefing di kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Jumat (31/3).
Suahasil menjelaskan pada dasarnya data tersebut sama-sama berasal dari hasil rekap PPATK yang terdiri atas 300 surat. Total transaksi juga sama, yakni Rp 349,87 triliun.
"Total nominal rekening dari debit kreditnya Rp 349 koma sekian triliun, sama, itu informasi yang sama, tapi cara menunjukkannya kita pakai chart yang berbeda. Ada versi lain, ya nggak apa, tapi bukan data yang berbeda," tuturnya.
Lihat juga Video: Beda Penjelasan Mahfud dan Srimul soal Data Transaksi Janggal Rp 349 T
Perbedaan terjadi karena Kemenkeu selama ini tidak menerima 100 surat PPATK yang dikirimkan ke aparat penegak hukum. Jadi ada dua klasifikasi surat PPATK terkait transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu.
Pertama, surat dikirim ke Kemenkeu sejumlah 135 surat yang melibatkan 363 ASN/PNS Kemenkeu dengan nilai Rp 22,04 triliun. Kedua, surat hanya dikirimkan ke aparat penegak hukum (APH) sebanyak 64 surat yang melibatkan 103 PNS Kemenkeu dengan nilai Rp 13,07 triliun.
Lalu soal data Mahfud Rp 53,8 triliun terkait transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan PNS Kemenkeu dengan pihak lain, PPATK disebut hanya mengirim 2 surat ke aparat penegak hukum senilai Rp 47 triliun.
Kemudian terkait Rp 260,5 triliun transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan. Kemenkeu juga membaginya menjadi dua klasifikasi, yakni sebanyak 65 surat PPATK dikirimkan ke Kemenkeu yang melibatkan perusahaan senilai Rp 253,56 triliun, sementara 34 surat dikirimkan ke aparat penegak hukum yang melibatkan perusahaan senilai Rp 14,1 triliun.
Sehingga, jika diakumulasikan, jumlah dugaan transaksi mencurigakan di PNS Kemenkeu sebesar Rp 349,87 triliun.
"Kita memang bekerja dengan data yang sama, yaitu 300 surat dan keseluruhan itu nilai totalnya Rp 349,874 triliun. Sumber datanya sama, yaitu rekap surat PPATK, cara menyajikannya bisa berbeda, tapi kalau dikonsolidasi ya ketemu sama," tandas Suahasil.