Bamsoet Sebut MPR Perlu Memiliki Kewenangan Subjektif Superlatif

Sukma Nur Fitriana - detikNews
Kamis, 30 Mar 2023 13:39 WIB
Foto: MPR RI
Jakarta -

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan Indonesia perlu segera menyiapkan langkah untuk mengantisipasi terjadinya situasi darurat konstitusi. Hal itu menjadi langkah ketika konstitusi tidak bisa terlaksana, ataupun mencegah sekaligus menjadi solusi untuk mengatasi persoalan yang dihadapi negara. Termasuk dalam upaya menghadirkan PPHN sebagai peta jalan pembangunan bangsa.

Menurut Bamsoet langkah tersebut bisa dengan mengembalikan kewenangan subjektif superlatif MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Kewenangan subjektif superlatif MPR ini dinilai penting jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan.

"Misalnya, kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan (pemerintah/eksekutif) dengan lembaga DPR (legislatif). Atau bagaimana jika terjadi kebuntuan politik antara Pemerintah dan DPR (eksekutif dan legislatif) dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (yudikatif)? Atau terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK, padahal sesuai asas peradilan yang berlaku universal, yaitu hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri, maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara," terang Bamsoet dalam keterangannya, Kamis (30/3/2023).

"Menurut saya, TAP MPR merupakan salah satu solusi manakala terjadi kebuntuan konstitusi dan kedaruratan atau kegentingan yang memaksa. Seperti halnya Presiden yang memiliki kewenangan PERPPU manakala terjadi kedaruratan atau kegentingan yang memaksa," imbuhnya.

Hal ini Bamsoet sampaikan dalam Diskusi Empat Pilar 'PPHN Tanpa Amandemen' di Media Center Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (29/3) kemarin.

Bamsoet juga mengingatkan tentang kekhawatiran yang pernah disampaikan oleh Ahli Tata Negara Profesor Yusril Ihza Mahendra. Yusril pernah mengatakan tentang perlunya Indonesia memikirkan tata cara pengisian jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum atau pemilu yang karena suatu kedaruratan penyelenggaraan Pemilu ditunda.

"Misalnya kedaruratan disebabkan gempa bumi megathrust di selatan Pulau Jawa, kerusuhan massal, maupun karena pandemi global yang terulang kembali, sehingga Pemilu harus ditunda," jelas Bamsoet.

Lebih lanjut, Bamsoet menuturkan Pasal 431 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur tentang penundaan Pemilu. Dalam pasal tersebut disebutkan pengaturan penundaan pemilu disebabkan karena terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian dan atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.

"Namun tidak ada ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundangan mana pun tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan karena penundaan Pemilu," tegas Bamsoet.

Bamsoet menilai tidak adanya ketentuan hukum tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan karena penundaan Pemilu menjadi salah satu yang terlewatkan pada saat melakukan amandemen konstitusi yang dimulai pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Ia menambahkan padahal bisa saja suatu saat nanti bangsa Indonesia menghadapi kondisi force majeure yang luar biasa sehingga menyebabkan Pemilu tidak dapat dilaksanakan sesuai ketentuan yang ditetapkan. Termasuk tidak pernah membayangkan jika suatu ketika capres/cawapres hanya calon tunggal yang terpaksa berhadapan dengan kotak kosong dan harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

Dalam pasal tersebut ditentukan Pasangan Capres dan Cawapres yang mendapatkan suara lebih dari 50 % dari jumlah suara dalam Pemilu dengan sedikitnya 20 % suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, salah satu pembicara dalam diskusi, Wakil Ketua DPR RI 2014-2019 Fahri Hamzah mengatakan banyak contoh kebuntuan yang terjadi dalam pelaksanaan konstitusi. Karena itu ia juga menilai perlu adanya langkah strategis untuk negara menghadapi situasi tersebut.

"Ada banyak contoh kebuntuan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan konstitusi kita. Seperti pengaturan tentang anggaran pendidikan 20%, kemungkinan terjadinya perang, dan juga apabila presiden bersama DPR bersepakat untuk mengambil kebijakan yang dampaknya ekstrim bagi kehidupan bangsa dan negara kita. Semua ini memerlukan instrumen intervensi yang levelnya bukan pada presiden atau DPR dan DPD, juga bukan di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Tetapi intervensi diperlukan pada level Majelis Permusyawaratan Rakyat," terang Fahri.

Fahri menambahkan dalam hierarki peraturan perundangan, TAP MPR memang berada pada posisi ke dua di bawah UUD NRI 1945. Namun berdasarkan penjelasan pasal 7 UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundangan, yang dimaksud dengan Ketetapan MPR tersebut adalah TAP MPRS dan TAP MPR sampai tahun 2002.

"Apa artinya? Artinya MPR tidak lagi bisa membuat ketetapan MPR karena ketetapan MPR produk di atas tahun 2002 tidak masuk dalam hierarki peraturan perundangan. Maka penjelasan pasal 7 UU 12/2011 mutlak harus dihapus dengan revisi UU atau yudicial review. Dengan demikian berbagai kebuntuan persoalan bangsa termasuk PPHN langsung bisa ditarik ke MPR dengan ditetapkan sebagai TAP MPR," tandas Fahri.

Selain itu, Direktur Eksekutif Voxpol Indonesia Pangi Syarwi Chaniago yang hadir sebagai pembicara menegaskan bangsa Indonesia butuh haluan negara. Bahkan Perdana Menteri Singapura dari tahun 1959-1990 Lee Kwan Yew mengaku terinspirasi GBHN yang dibuat Presiden RI Soeharto dalam membangun Singapura.

Menurut Pangi adanya GBHN membuat negara punya trayek, arah serta intensitas dalam melakukan pembangunan. Sehingga, GBHN menginspirasi Singapura saat berganti kepemimpinan, tidak membuat kehilangan arah, kehilangan intensitas dan trayek, dan jalan yang tetap dalam pembangunan selanjutnya.

"Saat ini masih ada kekhawatiran jika Presiden Jokowi sudah tidak menjadi presiden, apakah legacy beliau semisal pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara tetap dilanjutkan. Kalau kita ada PPHN mungkin kekhawatiran itu tidak terjadi. Boleh presiden berganti, boleh kepala daerah berganti, tetapi legacy keberlanjutan, kesinambungan pembangunan itu akan terus laju jalannya," jelas Pangi.

Pangi menambahkan, saat ini bangsa Indonesia memiliki banyak politisi hebat, namun sedikit memiliki sosok negarawan. Ia menilai kalau politisi hanya berpikir bagaimana bisa menang dan berkuasa dalam 5 tahun. Berbeda dengan negarawan yang berpikir panjang, tidak hanya 5 tahun, tetapi bisa 25 tahun bahkan 50 kedepan dalam membangun bangsa.

"Ada kecenderungan politisi kita kurang mengapresiasi dan kurang menghargai terhadap politisi, kepala daerah atau presiden sebelumnya. Buktinya hampir semua kepala daerah atau presiden ketika ganti kepala daerah atau presiden maka ganti pula program pembangunan yang dijalankan. Pokoknya harus ganti program, ganti kebijakan baru, gengsi kalau melanjutkan legacy dari pimpinan terdahulu. Karena itulah, perlu adanya haluan negara agar pembangunan bisa tetap berkesinambungan, sekalipun terjadi pergantian kepemimpinan," papar Pangi.

Masih dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil menilai menghadirkan PPHN tanpa amandemen sangat mungkin dilakukan. PPHN diperlukan jika memang banyak permasalahan negara disebabkan karena tidak adanya haluan negara dalam pembangunan nasional.

"Kita butuh konsistensi dan berkesinambungan dalam melanjutkan agenda pembangunan nasional. Karenanya, menghadirkan PPHN tanpa amandemen ini sesuatu yang masuk akal. Bisa saja kita lakukan tidak harus ada operasi konstitusi," pungkas Nasir.

Sebagai informasi, hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini antara lain Wakil Ketua DPR RI 2014-2019 Fahri Hamzah, Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil, dan Direktur Eksekutif Voxpol Indonesia Pangi Syarwi Chaniago.




(ncm/ega)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork