Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengevaluasi Kementerian Keuangan. Desakan KAMMI merespons sorotan publik ke Kemenkeu selama sebulan belakangan ini.
Sorotan itu meliputi soal Rafael Alun Trisambodo, yang dulu Kepala Bagian Umum Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Selatan II. Menyusul kemudian sorotan publik diarahkan ke Wahono Saputro, Kepala Kantor Pajak Madya Jaktim, juga Eko Darmanto, yang menjabat Kepala Bea Cukai Kantor Yogyakarta, serta Andhi Pramono selaku Kepala Bea Cukai Makassar.
Tak berhenti di situ, ada pula kabar luar biasa dari Menko Polhukam Mahfud Md (memperoleh informasi dari PPATK) yang menyebut transaksi janggal Rp 300 triliun, atau belakangan jumlahnya dipastikan Rp 349 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perilaku pamer kekayaan atau 'flexing' mengiringi isu-isu pejabat Kemenkeu, kementerian yang kini dipimpin Sri Mulyani. Pamer kekayaan itu tersiar bahkan lewat akun media sosial masing-masing. Sejak awal, isu flexing ini sudah muncul, yakni lewat pamer kendaraan mewah anak Rafael bernama Mario Dandy Satriyo yang berkasus karena menyiksa anak bernama David.
Ketua Umum PP KAMMI Zaky Ahmad Riva'i mendesak Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi terhadap Kementerian Keuangan. Sebab, menurutnya, berbagai kasus yang sedang ramai berdampak terhadap hilangnya kepercayaan publik.
"Tindakan oknum ini memang tidak layak. Wajar jika publik marah dan hilang kepercayaan sebab di tengah rakyat sedang berjibaku recovery ekonomi pascapandemi. Sebaliknya, justru para pejabat ini dengan sengaja pamer kekayaan," ujar Zaky dalam keterangan tertulis KAMMI, Selasa (28/3/2023).
"Presiden harus berani ambil sikap. Evaluasi besar-besaran jajaran Kementerian Keuangan. Tindak tegas para oknum yang telah merusak citra Lembaga Pemerintahan. Dan evaluasi kebusukan badan itu harus dimulai dari kepalanya," desak Zaky.
Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI, Ammar Multazim, turut berkomentar. Menurutnya luapan kemarahan publik yang meluas hingga muncul gerakan penolakan bayar pajak sangat berbahaya serta menghambat pembangunan nasional.
"Gerakan penolakan bayar pajak merupakan puncak kemarahan publik. Jika terus dibiarkan sangat berbahaya. Sebab 70% lebih APBN bersumber dari penerimaan pajak. Bahkan pada tahun 2022 realisasi dari pajak mencapai Rp. 1.716,8 triliun. Tentu nilai sebesar ini sangat penting bagi pembangunan nasional. Sehingga gerakan ini tidak boleh dianggap remeh. Khususnya Kemenkeu harus segera ambil langkah taktis dalam upaya counter gerakan tolak bayar pajak yang akan berdampak terhadap pembangunan nasional. Maka KAMMI mendesak Presiden untuk mengevaluasi Menteri dan Kementerian Keuangan," pungkasnya.
(dnu/dnu)