Rumah mungil itu dihiasi banyak lukisan. Selain kanvas, kain, dan kertas juga menjadi medium guratan warna serta goresan tegas oleh si empunya. Bukan sembarang lukisan, sebagian besar dari deretan itu merupakan poster dari beberapa film lawas.
Koleksi lukisan itu adalah milik Ahmad Ridwan Tanjung. Ia adalah pelukis poster film Indonesia yang aktif tahun '80-an. Dikenal sebagai A.R. Tanjung, perupa ini sudah terjun di dunia pelukisan poster film sejak duduk di bangku SMP. Sejumlah judul film tanah air maupun mancanegara pernah dilukisnya, seperti Bernafas dalam Lumpur (1970), Runaway (1984), hingga Sang Kiai (2013).
Tanjung kecil memang terbiasa merupa lewat sketsa. Tak heran, sebab ibu Tanjung hobi membuat sketsa-sketsa sederhana di waktu senggang. Dari sanalah ketertarikan Tanjung untuk 'coret-coret' bermula.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Waktu pun berlalu, dan Tanjung beranjak remaja. Seperti remaja pada umumnya, Tanjung hobi nongkrong di bioskop. Bedanya, Tanjung gemar duduk-duduk di depan bioskop, sembari membuat sketsa ulang poster-poster film yang sedang tayang.
"Nah, dari sketch-sketch itu, saya selalu kumpulkan, gitu. Saya bandingkan, misalnya, apa namanya, bentuknya sudah mirip atau belum, gitu lho," kenang Tanjung di program Sosok detikcom.
Kemampuan gambar Tanjung semakin terasah. Ia mulai terpikir untuk menjadikan kegiatan ini sebagai profesi. Maka, Tanjung pun memulai dengan menggelar lapak lukis wajah di Kantor Pos Cililitan.
Tak disangka, momen itu mengantarkan Tanjung pada profesi yang kelak membesarkan namanya. Lapak itu menjadi saksi kala Tanjung dihampiri seseorang yang menawarinya bekerja di studio lukis poster film.
"Akhirnya saya diajaklah ke studionya. Nah pas saat saya di studionya, di situlah saya melihat, inilah masa depan saya," terang Tanjung, sumringah.
Adalah Liem Studio, tempat pertama Tanjung menjajal dunia lukis poster film. Tak langsung menjadi 'tukang gambar' atau pelukis wajah aktor, mula-mula Tanjung ditugaskan menjadi asisten. Berbagai tugas seperti mencuci kuas, melipat poster, membeli cat dan kain, hingga mengantar poster ke kantor film, pernah dilakoninya.
Tak lama kemudian, Tanjung mendapat tugas lain. Mulai menjadi pendasar, atau pelukis background poster hingga membuat lettering atau judul dan nama-nama aktor film. Tugas-tugas itu ia jalani sepenuh hati. Meski upahnya tak seberapa, Tanjung menganggapnya sebagai kesempatan belajar gratis dari ahli lukis poster film. Sembari mengerjakan tugasnya, Tanjung cermat mengamati bosnya membuat sketsa, mengisi warna, hingga memberi sentuhan terakhir di lukisan.
Kesempatan tanjung sebagai pelukis wajah aktor di poster film akhirnya datang, namun bukan di Liem Studio lagi. Setelah memutuskan tidak melanjutkan sekolah di bangku SMA, Tanjung bergabung di studio milk temannya, Tian, sebagai 'tukang gambar', atau pelukis wajah aktor di poster film.
Kala Tanjung aktif melukis poster film, perfilman Indonesia didominasi oleh beberapa genre. Tanjung menuturkan, jenis romansa, laga, dan horor dewasa adalah yang paling diminati di masa kejayaannya.
Diminatinya genre-genre tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pelukis poster film seperti Tanjung. Melukis adegan 'panas' di poster seakan jadi rutinitasnya. Beberapa kali, Tanjung mendengar selentingan negatif orang-orang terkait profesinya ini.
Gambar 'aurat' dan mimpi Tanjung, halaman selanjutnya
"Sempat saya dikritik di beberapa media. 'Pelukis poster film itu, kenapa sih harus (gambar) yang mengumbar aurat?' Sebenarnya sih, ya saya sih terima-terima aja ya. Tetapi itu bukan kemauan kita. Itu memang dari kantor film itu sendiri yang mengajukan. Walaupun kita sendiri gitu, agak malu hati gitu untuk gambar-gambar seperti itu," aku Tanjung.
Perkataan-perkataan tersebut sempat memenuhi pikiran Tanjung. Ia bahkan sempat terpikir berhenti menjadi pelukis poster film. Tanjung merasa, cukup sudah ia melukis adegan-adegan yang dianggapnya tidak etis.
Berbagai pekerjaan lain pun Tanjung lakoni sembari perlahan-lahan melepas karirnya sebagai pelukis poster film. Mulai dari berdagang baju dan kaos kaki, ia lakoni untuk membiayai hidupnya.
Namun, Tanjung tak pernah benar-benar bisa pergi dari dunia seni lukis. Ia pun kembali melukis poster film sambil menjajal jadi guru gambar dan lukis untuk anak-anak.
Kini, di usianya yang ke-57, Tanjung belum kunjung menggantung kuasnya. Memang, melukis poster film tak lagi jadi profesi utamanya sejak sirnanya poster film lukis yang tergantikan dengan lukisan digital. Namun, Tanjung sang pelukis masih ada sebagai guru gambar dan lukis untuk anak-anak. Selain itu, ia juga bergabung di komunitas seniman Segitiga, yang beberapa kali menggelar pameran lukisan.
Tanjung bahagia dengan hidupnya saat ini. Meski demikian, ada satu mimpinya yang belum terwujud. Yakni, mendirikan museum poster film.
"Saya ingin membuat namanya museum poster film. Museum itu tidak harus besar, saya ingin mempunyai museum mini, namanya Art Tanjung Center. Tempatnya sudah ada, di mana, tempat itu sudah ada angan-angan, ternyata oh tempat itulah yang saya cari, sudah di depan mata. Tinggal nunggu koceknya aja, uangnya aja," terang Tanjung.