Ketua Umum MPR akan meluncurkan buku berjudul 'PPHN Tanpa Amendemen' di Kampus Universitas Terbuka, Selasa (21/3) mendatang. Adapun buku ketiga karya Bamsoet ini fokus mengupas urgensi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) atau Peta Jalan Indonesia.
Sebelumnya, Bamsoet juga telah meluncurkan dua seri buku tentang PPHN terdahulu yakni, 'Cegah Negara Tanpa Arah' (2021) dan 'Negara Butuh Haluan' (2021). Berbeda dengan dua buku seri PPHN sebelumnya, buku Bamsoet ke-30 ini ditulis berdasarkan disertasi 'Peranan dan Bentuk Hukum Pokok-Pokok Haluan Negara sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan dalam Menghadapi Industri 5.0 dan Indonesia Emas'.
Dengan tema disertasi ini, Bamsoet meraih predikat yudisial Cumlaude dengan IPK 4.0 pada Sidang Terbuka Promosi Gelar Doktor Bidang Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran di Bandung, Sabtu (28/1). Buku 'PPHN Tanpa Amendemen' juga menjadi novelti atau temuan baru dari penelitian selama berbulan-bulan yang dilakukan Bamsoet untuk bahan disertasinya.
Melalui ungkapan 'Tanpa Amendemen', Bamsoet berupaya memberi jawaban atas diskursus soal PPHN yang menahun. Dalam hal ini, PPHN dapat dihadirkan tanpa perlu khawatir memantik terjadinya amendemen pasal-pasal lain dalam konstitusi, terutama terkait perpanjangan masa jabatan presiden yang kerap menyulut gaduh politik.
"Dilandasi kehendak baik, GBHN dengan nomenklatur PPHN bisa dihadirkan tanpa amendemen pasal-pasal tertentu UUD NRI Tahun 1945. Gagasannya adalah merekonstruksi GBHN menjadi PPHN tanpa amendemen," dikutip dari keterangan resmi MPR yang diterima detikcom.
Berdasarkan penelitian Bamsoet, merekonstruksi GBHN menjadi PPHN bisa dilakukan berlandaskan pada konvensi ketatanegaraan sebagai sumber hukum pelaksanaan dan pembuatan PPHN dengan menyesuaikan beberapa peraturan perundang-undangan. Hal ini akan menjadi lebih afdal jika penjelasan pasal 7 ayat 1 huruf b pada UU Nomor 12 tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 ditiadakan atau dihapus sehingga kekuatan Tap MPR yang bersifat regeling atau pengaturan, hidup kembali.
Meski demikian, upaya ini memerlukan konsensus nasional untuk menyelenggarakan konvensi ketatanegaraan yang melibatkan delapan lembaga tinggi negara, termasuk lembaga kepresidenan.
"Jika sepakat melakukan konvensi, perlu dibentuk dan disusun substansinya. Konvensi ini kemudian dikuatkan dengan Tap MPR. Saat ini MPR masih memiliki kewenangan Tap MPR yang sifatnya keputusan (beschikking). Tetapi akan lebih kuat lagi kalau MPR bisa memiliki Tap MPR yang sifatnya regeling, yakni dengan cara melakukan judicial review terhadap penghapusan penjelasan pada pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3)," tulis keterangan resmi MPR.
Di samping itu, melakukan desain ulang konstitusi Indonesia dapat menjadi cara lain untuk mempertegas status hukum Tap MPR. Mengingat saat ini sudah menjadi rahasia publik bahwa proses amandemen konstitusi Indonesia dalam rentang 1999-2002 sedikit terburu-buru dan masih menyimpan sejumlah persoalan yang layak untuk diperdebatkan. Hal ini termasuk adanya penjelasan atas pasal dalam suatu undang-undang yang membatasi norma.
Simak juga 'Ketua MPR Bicara Pentingnya PPHN Jamin IKN Dituntaskan':