Pagi itu 2 wanita berwajah muram mendatangi Pos Pemadam Kebakaran (Damkar) Klender, Jakarta Timur. Salah satunya cemas lantaran cincin emas di jari tengahnya enggan lepas. Duh!
Bukan cerita baru memang bila petugas damkar seringkali membantu ragam persoalan warga seperti urusan cincin yang susah dilepas itu. Namun melihat bagaimana proses 'operasi' secara langsung itu tentu menarik.
Di Pos Damkar Klender, Kamis (16/3/2023), ada 4 personel yang bertugas, yaitu Didik Kiswanto (42), Wahono (55), Benny Marwan (44), dan Oktavian (25). Mereka pun sigap membantu membebaskan si ibu yang harap-harap cemas. Sekitar 10 menit kemudian, wajah ibu itu semringah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terima kasih buat bapak-bapak damkar atas kesigapannya membantu kami masyarakat dalam evakuasi cincin. Terima kasih banyak," ucap si ibu sambil tersenyum.
Memang profesi damkar tak melulu tentang memadamkan api. Benny membuka obrolan tentang pengalamannya bersama rekan seprofesi yang melakukan evakuasi sarang tawon di rumah warga.
"Tawon tuh sampai masuk ke dalam baju!" ucap Benny.
Malang tak dapat dihindari. Tawon-tawon itu 'melawan' saat dievakuasi. Sengatan tawon pedih dirasakan.
"Merianglah dua-tiga hari," sambung Oktavian.
Usut punya usut ternyata mereka kala itu belum tahu bagaimana cara yang tepat mengevakuasi sarang tawon sehingga belajar autodidak. Padahal, sebaiknya evakuasi sarang tawon dilakukan malam hari sebab gerombolan tawon itu lebih jinak dibandingkan siang hari.
Ada lagi cerita soal hewan lain dalam kamus evakuasi para petugas damkar yaitu biawak. Oktavian mengaku pernah mendapatkan laporan soal biawak di lingkungan warga. Bergegaslah dia menuju ke lokasi. Ternyata biawak yang hendak dievakuasi bukan di dalam rumah.
"Bukan evakuasi namanya (tapi) berburu," ujarnya sambil tertawa lepas.
Di sisi lain rupanya ada kesalahpahaman di publik yang menganggap bila pertolongan dari damkar ini ada biayanya. Padahal, kata Didik, tak ada sepeserpun uang warga yang masuk ke kantong mereka.
"Kalau laporan jelas entah apa ya udah kita nggak minta pungutan apa-apa," kata Didik.
Datang Dicaci, Pulang Tanpa Apresiasi
Didik yang memulai karier sebagai petugas damkar sejak tahun 2004 itu mengaku pernah pula berhadapan dengan warga korban kebakaran yang emosional. Sampai-sampai kala itu warga ngotot merebut selang air darinya.
"Soalnya kalau kita baru datang itu keadaan mereka tuh kadang lagi marah, jadi susah kita redam. Karena panik itu ya kita jadi susah ngeredamnya. Jadi kita biarkan dulu," ujarnya.
Meski begitu, Didik mengaku bahwa perasaan sedih kerap menghampirinya ketika selesai menunaikan tugas berbahaya tersebut. Kenapa?
"Kita dateng dicaci-maki, pulang juga ibarat kata nggak ada terima kasih," ungkapnya.
Didik juga menceritakan bahwa kawan-kawannya yang lain tak jarang mengalami luka bakar di sekujur badan ketika tengah menaklukkan api. Sampai-sampai harapan hidupnya sudah sangat tipis. Tak hanya itu, banyak juga petugas damkar yang terjebak di dalam bangunan yang terbakar hingga tewas.
Para petugas yang diterjunkan ke lapangan ini nyatanya tak sepenuhnya mengetahui informasi seputar akses keluar masuk bangunan yang tengah mereka tangani. Hal inilah yang menyebabkan mereka harus mempertaruhkan nyawa sambil terus berusaha memadamkan api. Meski begitu, ia mengaku tetap menyukai pekerjaannya itu. Baginya, dengan menjadi pemadam kebakaran, ia dapat membantu orang banyak.
(rdp/dhn)