Desakan agar KPK segera menjerat mantan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo (RAT) mengemuka sebab dugaan pencucian uang kian kuat. Namun KPK dinilai perlu lebih dulu mengusut pidana suap atau gratifikasi terkait Rafael Alun.
Adalah pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bondan, yang menyampaikan pendapat tersebut. Gandjar mengatakan TPPU bukanlah kewenangan dari KPK. Menurutnya, harus ada dasar tindak pidana asal (TPA) sebelum KPK mengusut TPPU Rafael Alun.
"Apakah saat ini KPK sedang lidik TPPU-nya RAT? Jika iya, dasar hukumnya apa? Kewenangan KPK adalah lidik, sidik, dan tuntut korupsi. Bukan TPPU. Maka patut diduga saat ini KPK sedang lidik tindak pidana asal (TPA)-nya. Kalo nemu TPA-nya, KPK akan sidik sekalian TPPU-nya," kata Gandjar melalui akun Twitternya, Minggu (12/3/2023). Gandjar sudah mempersilakan detikcom mengutip cuitannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gandjar pun meyakini saat ini belum ada surat perintah penyidikan (sprindik) dari KPK, baik mengenai TPPU maupun TPA-nya. Dia pun lantas mempertanyakan dasar pembukaan safe deposit box (SDB) Rafael Alun yang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Saya yakin belum ada Sprindik apapun dari KPK, baik TPPU maupun TPA-nya. Terus kemarin buka safe deposit box (SDB) pakai aturan apa? Buka SDB itu penggeledahan, penggeledahan adalah upaya paksa, dan upaya paksa hanya bisa dilakukan di tingkat Penyidikan. Sudah ada Sprindik? Atau buka SDB kemaren pake kewenangan PPATK? Kewenangan yang mana? Tolong bantu cari, mungkin saya kurang teliti baca UU. Yang pasti tadi pagi saya dikirimi teman link sebuah berita yang isinya pihak bank tempat SDB menolak konfirmasi karena menyangkut kerahasiaan bank," tutur Gandjar.
Menurut Gandjar, jika memang KPK sudah menerbitkan sprindik, sudah pasti diiringi dengan penetapan tersangka. Dia melanjutkan, hingga kini pun keterangan pers terkait Rafael Alun masih dilakukan oleh Deputi Pencegahan KPK.
"Kalau KPK terbitkan Sprindik, pasti sudah ada Tersangka. Apakah sudah ada? Sekadar info, saya menentang KPK yang menetapkan Tersangka lewat Sprindik. Analisisnya sudah pernah panjang-lebar saya twit sekitar 10 tahun lalu. Satu lagi sekadar tambahan: sampai saat ini keterangan pers KPK disampaikan oleh Deputi Pencegahan. Ulangi: oleh Deputi Pencegahan. Kenapa bukan Deputi Penindakan? Entahlah, saya bukan orang KPK dan tak banyak tahu tentang KPK. Takut salah," papar dia.
"Jadi paham kenapa @KPK di era Pak Firli mengumumkan Penahanan Tersangka dan bukan mengumumkan Penetapan Tersangka sebagaimana sebelumnya. Kadang kita perlu (belajar) memahami sebuah kesalahan," imbuhnya.
Gandjar melanjutkan, adanya transaksi keuangan mencurigakan (TKM) bukan berarti ada TPPU. Dia menjelaskan, TKM hanya pintu adanya indikasi TPPU. Menurutnya, hal inilah yang menjadi kekurangan TPPU: perlu ada TPA sebagai cantolannya.
"Di sinilah kekurangan TPPU yaitu tetap perlu TPA padahal mengaitkan TPA dan mencuci hasilnya bukan pekerjaan mudah meski juga nggak sulit-sulit amat. Yang nggak logis kalo nggak nemu TPA-nya sementara orang sudah dihukum dengan TPPU. Padahal hukum itu logis-sistematis. Sebagai sebuah kejahatan yang sudah diatur UU saya juga pingin banget TPPU itu bisa berdiri sendiri, tapi riwayat dan konsepnya nggak gitu. Kecuali kita mau menyampingkan riwayatnya dan menyusun konsep baru. Ya ayo," ungkap Gandjar.
"Jadi menurut saya skemanya begini: kalau PPATK nemu dugaan TPPU, hasil lidiknya kasih ke APH, terus APH lidik dulu predicate crime-nya, setelah nemu lanjut sidik predicate crime-nya, baru si APH sidik TPPU-nya. Kalo APH penemu TPPU-nya? Nggak mungkin. APH pasti nemu tindak pidana, terus cari ada TPPU-nya nggak. Kalau nemu TPPU-nya maka otomatis jadi Penyidik TPPU-nya juga. Karena kata UU, Penyidik predicate crime berwenang menyidik TPPU-nya. Jangan terbolak-balik," imbuh dia.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Simak Video: Korupsi Meluas, Bangsa Merana
Gandjar juga mempertanyakan mengapa PPATK menyerahkan hasil lidik dugaan TPPU Rafael Alun ke KPK. Sebab, lanjutnya, jika TPPU tersebut ternyata bukan hasil korupsi, maka kasus tersebut berpotensi mandek lantaran KPK tidak bisa melimpahkan ke aparat penegak hukum lain.
"Karena menurut UU, KPK hanya bisa melimpahkan Penyidikan dan Penuntutan. Kalo Penyelidikan nggak bisa. Terus mau di =kemanain tuh 'bola'? KPK jadi Pelapor ke APH lain? Entahkah. Silakan didiskusikan. Jangan lupa, ada alasannya lho kenapa KPK hanya boleh limpah Dik dan Tut," ujar Gandjar.
Hal senada juga disampaikan mantan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah. Febri menuturkan, sebelum mengusut TPPU, KPK wajib mengusut tindak pidana asalnya terlebih dahulu.
"Pencucian Uang (TPPU). Memang ada 2 pandangan besar tentang predicate crime (tindak pidana asal/TPA) TPPU. 1. Wajib dibuktikan dulu seluruh TPA. Jika TPA tidak jelas, maka bukan TPPU. 2. Cukup dibuktikan sebagian TPA, dan sisanya menerapkan 'pembuktian terbalik'. Ada 25 + 1 jenis TPA," kata Febri.
"Setahu Saya, dari kasus-kasus yang ada, KPK, Polri & Kejaksaan cenderung menerapkan pandangan ke-2. Dari seluruh kekayaan, sebagian dbuktikan berasal dari korupsi, misalnya. Kemudian sisanya menggunakan 'pembuktian terbalik'. Pernah berhasil, tapi juga pernah gagal di beberapa kasus," imbuh dia.
Dia pun mewanti-wanti penyidik KPK untuk tidak mengikuti irama politikus. Sebab, menurutnya, banyak celah jika nantinya KPK memilih menggunakan pandangan kedua dalam mengusut TPPU Rafael Alun.
"Namun, karena ini penegakan hukum, tentu penyidik tetap harus hati-hati. Jangan terlalu mengikuti irama politikus. Mereka gampang berubah. Sedangkan proses penegakan hukum akan terus diuji. Ada banyak celah jika hanya menggunakan pendekatan ke-2. Tapi pendapat pertama juga mulai ditinggalkan," ungkap Febri.
"Simulasi sederhana: KPK memproses TPPU pejabat A dengan pendekatan ke-2. Hanya sebagian yang diidentifikasi TPA nya korupsi, tapi seluruhnya disebut TPPU. Di sidang Terdakwa buktikan kekayaan itu hasil kejahatan lain. Konsekuensinya: Bebas/Lepas & nebis in idem jika diproses lagi," lanjutnya.
KPK Usut soal Suap dan Gratifikasi Rafael Alun
KPK telah memulai penyelidikan dugaan korupsi mantan pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo setelah melakukan klarifikasi LHKPN Rp 56 miliar yang dianggap tak sesuai dengan profil ASN. KPK menyatakan hal yang diusut ialah dugaan suap dan gratifikasi.
"Jadi yang ini kan dari temuan LHKPN, baru kemudian ke proses penyelidikan. Artinya, dari proses ini bisa ditemukan peristiwa pidana. Tentu jadi kewenangan KPK adalah pidana korupsi atau gratifikasi dan suap," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (7/3/2023).
Ali mengatakan proses penyelidikan dugaan korupsi terhadap Rafael masih berlangsung. Dia mengatakan temuan PPATK terkait transaksi janggal di rekening Rafael dan keluarga juga ditelusuri.
KPK saat ini masih mencari bukti permulaan awal dari dugaan korupsi yang dilakukan Rafael. Jika bukti awal itu dinilai cukup, kasus itu akan segera ditingkatkan ke tahap penyidikan.
"Langkah berikutnya kalau kemudian ada peristiwa pidana, ditemukan orang yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum berdasarkan dua. alat bukti setidaknya sebagai bukti permulaan dan itu pidananya menjadi kewenangan KPK, ya pasti kemudian ditangani KPK," ucap Ali.