Banyak cara untuk berekspresi dan menyuarakan kegelisahan hati. Musik adalah salah satu mediumnya.
Bagi Yacko, musik rap adalah jalan yang dipilihnya untuk berekspresi dan bersuara. Opsi ini bahkan sudah mantap ia ambil sejak berusia 13 tahun.
"I want to be a rapper. Aku bilang gitu ke diriku saat usia 13 atau 14 tahun. Pas SMP lah," kenang Yacko di program Sosok detikcom.
Dikenal sebagai salah satu rapper perempuan di Indonesia, Yacko sudah berkarya lebih dari dua dekade. Debutnya ditandai dengan single berjudul 'Nongkrong' yang dirilis tahun 1996.
Mulanya, Yacko tidak merasa familiar dengan genre musik ini. Namun, pelafalan lirik rap yang cepat dan banyak menggunakan permainan kata, kemudian mencuri perhatian Yacko muda.
"It's different. Karena cara menyampaikan liriknya itu tidak dengan bernyanyi biasa dan liriknya itu lebih padat. Terus terang aku ngerasa kesulitan ngedengerin ini ngomongin apa ya. Dari situ baru tahu kalau, oh, ini rap," kenang wanita asal Surabaya ini.
Minat Yacko pada musik rap kian membesar. Tidak hanya menjadi penikmat, di masa itu, ia juga bercita-cita menjadi pelaku musik rap.
Kecintaan Yacko pada musik rap membawanya ke skena hip-hop Surabaya. Bermula dari sebuah lomba di radio, Yacko dipertemukan dengan Sonny, Rizky, Rani, tiga mentor rap pertamanya, yang tergabung dalam grup Pumpkin Rapper Crew.
"Di radio yang aku ikuti, mereka ada kayak lomba mengucapkan ulang tahun dengan gayanya masing-masing. And I was like lewat telepon, sok-sokan ngerap. Eh ternyata dimenangin! Disuruh datang ke radio dan itu adalah tempat pertama aku belajar rap," jelas Yacko.
Jalan Yacko untuk menjadi rapper semakin terbuka. Tahun 1996, Yacko berkesempatan bergabung dalam grup rap Pumpkin Hardcore Crew dan lagu 'Nongkrong' masuk ke dalam album kompilasi Pesta Rap 2.
Yacko pernah menjadi korban pelecehan seksual, halaman berikutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jalan terjal Yacko dalam meniti karier semakin berat saat tidak ada orang terdekat yang mendukungnya. Lingkungan sekitar menariknya kembali pada kenyataan dengan dalih kodrat sebagai perempuan.
"'Nanti kalau kita nikah kamu nggak usah nge-rap ya.' Aku pernah mengalami hal seperti itu. 'Kenapa?' 'Karena nggak enak nanti sama keluarga.' Akhirnya setelah 5 tahun pacaran, aku memutuskan untuk putus aja udah dari pada aku nggak bisa bermusik lagi," kenang Yacko.
Yacko bertutur, kondisi demikian tidak hanya terjadi padanya. Menurut Yacko, banyak perempuan yang tidak melanjutkan karir di musik rap karena dianggap bertentangan dengan ekspektasi masyarakat dan keluarga terhadap diri perempuan. Akibatnya, jumlah rapper perempuan di Indonesia masih kalah dengan rapper laki-laki.
Ketimpangan ini juga menyebabkan rapper perempuan diperlakukan secara berbeda. Misalnya, soal aturan berpenampilan.
Yacko teringat sebuah pertunjukan di sebuah stasiun TV di mana ia dilarang menunjukkan tato. Saat menanyakan sebabnya, Yacko harus menerima penjelasan tentang bagaimana tato tidak merepresentasikan akhlak baik, khususnya bagi perempuan.
"Lagu pertama oke aku masih pake blazer, lagu kedua aku copot. Sebagai bentuk pemberontakan aja, karena aku melihat di panggung sebelah ada laki-laki yang bertato tapi tidak dipermasalahkan," tutur Yacko.
Tak berhenti di sana, Yacko juga sempat mengalami kejadian tidak mengenakkan di panggung. Pernah suatu saat, ia mengalami pelecehan seksual saat melakukan crowd surfing.
Sayangnya, momen seperti itu tidak hanya Yacko alami di pertunjukan. Ia menyadari, ada banyak perempuan di sekitarnya yang rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual di manapun mereka berada.
Keresahan itu kemudian dituangkan Yacko dalam single berjudul 'Hands Off'. Berkolaborasi dengan musisi Mardial, single yang rilis tahun 2017 itu menyuarakan isu pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan.
'My body is not for you to touch without my consent, no you fool. My short skirt is not to attract you, 'cause what I wear is my rule. (Tubuhku tidak untuk kau sentuh tanpa persetujuanku, dasar konyol. Rok pendekku tidak untuk menarik perhatianmu, karena apa yang kupakai adalah aturanku sendiri.)'
Sejak saat itu, Yacko semakin aktif menyuarakan isu perempuan dalam karya-karyanya. Mulai dari 'FYBV' yang berbicara tentang perlawanan terhadap misogini dan patriarki, 'Tell Your Story' tentang perjalanan menjadi ibu, hingga 'Women King' tentang dukungan terhadap perempuan untuk berkarya dan berdaya.
Kekuatan rap sebagai pembawa pesan, halaman berikutnya.
Menyuarakan isu lewat karya dilakukan Yacko tentu bukan tanpa sebab. Bagi Yacko, rap adalah medium berekspresi yang unik dalam cara penyampaian.
"Ada word play, ada metaphor, ada banyak yang bisa dimasukkan dalam satu lagu rap. Dalam satu verse itu sangat banyak sekali pesannya yang bisa ditangkap. I think rap is more than just a music, it's a medium for expression. Like a blank canvas, yang bisa diisi oleh siapapun dengan versinya sendiri," kata Yacko.
Keyakinan itu terus dibawa oleh Yacko, dari karya ke karya, dan dari pertunjukan ke pertunjukan baik dalam maupun mancanegara.
Yacko berharap pesan-pesannya lewat rap mampu tersebar lebih luas lagi. Pada akhirnya, perjalanan panjang Yacko dalam menggapai mimpinya sebagai rapper menemukannya pada tujuan baru. Tak hanya untuk diri sendiri, musik rap mengantarkannya pada aktivisme dengan tujuan pemberdayaan perempuan.
Lewat karya, Yacko ingin mengajak perempuan dan laki-laki untuk saling berkolaborasi dalam melawan diskriminasi gender, serta kekerasan dan pelecehan seksual.
"Semua gender yang bisa bergerak bersama. Iya perempuan bersatu tak bisa dikalahkan, tapi akan lebih kuat jika kita bisa bekerja sama. Kita harus bisa memberdayakan diri sendiri dan orang lain, serta menginspirasi satu sama lain. Mari berkolaborasi untuk makin kuat," pungkasnya.