HNW turut mengingatkan aktivitas ibu-ibu ke pengajian seperti diterangkan di atas, tidak layak dituding sebagai penyebab stunting, karena sudah umum diketahui bahwa stunting terjadi utamanya karena kemiskinan.
Lebih lanjut HNW mengatakan bahwa sesuai dengan ketentuan konstitusi soal mengatasi masalah kemiskinan yang antara lain mengakibatkan terjadinya stunting adalah merupakan kewajiban Pemerintah bukan kewajiban ibu-ibu di pengajian. Sekalipun pekerjaan rumah Pemerintah itu berangsur bisa dilaksanakan, tetapi hingga tahun ini persentase stunting belum juga turun di bawah angka standar WHO.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun 2021, prevalensi stunting anak di Indonesia sebesar 24,4 persen, lalu menjadi 21,6 persen di tahun 2022. Adapun standar yang ditoleransi oleh WHO adalah 20 persen.
"Disebabkan terjadinya stunting adalah karena anak-anak kurang gizi, di mana akar utamanya adalah karena terjadinya kemiskinan. Dan sesuai amanat konstitusi, mengatasi masalah kemiskinan itu merupakan kewajiban negara, maka mestinya Pemerintah yang dikritisi dan didorong untuk segera mengatasi, bukan malah cari kambing hitam, dengan menjatuhkan framing pada ibu-ibu yang aktif ke pengajian, yang sejatinya justru bisa diajak untuk membantu Pemerintah atasi masalah stunting pada anak-anak," ujarnya.
HNW menjelaskan dirinya tentu mengapresiasi kinerja Pemerintah yang telah berusaha menurunkan prevalensi stunting dari tahun ke tahun. Namun angkanya yang masih cukup tinggi tentu membutuhkan kolaborasi berbagai pihak untuk menghadirkan solusi.
Oleh karena itu dirinya mengingatkan agar ibu-ibu yang aktif ke pengajian tidak disalahpahami dengan framing terkait stunting, malah lebih bijak kalau potensi besar kaum ibu aktif di pengajian itu diajak untuk bekerja sama membantu pemerintah agar dapat menurunkan angka dan kasus stunting, misalnya dengan sosialisasi dan kegiatan serta penyampaian muatan-muatan materi kesehatan keluarga dan kebutuhan gizi anak agar stunting bisa diatasi.
"Karena salah satu pilar dari 5 pilar pencegahan stunting yang ditetapkan Pemerintah adalah kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku. Kegiatan majelis taklim yang masif di kalangan ibu-ibu justru memiliki potensi besar untuk diajak menyukseskan sosialisasi atasi stunting dengan pilar tersebut," sambungnya.
Apalagi target penurunan stunting hingga tahun 2024 adalah 14 persen, yang artinya butuh penurunan angka prevalensi stunting sekitar 3,8 persen poin pada tahun 2023 dan 2024. Itu target yang tak kecil.
"Maka mengejar target 14 persen itu mestinya Pemerintah dan pimpinan negara dan tokoh nasional seperti Bu Megawati, mengajak seluruh pihak termasuk Majelis Taklim dan ibu-ibu pengajian untuk berkolaborasi dan berpartisipasi untuk atasi masalah stunting, agar target Pemerintah bisa dipenuhi. Itu tentu lebih rasional, dan lebih produktif, ketimbang malah melontarkan pernyataan yang menjadi framing negatif yang bisa membuat para agen pencegah stunting termasuk kaum Ibu yang suka mengaji, menjadi tidak simpati atau bahkan antipati," ujarnya.
HNW mengusulkan untuk semakin mempercepat penyelesaian stunting, antara lain dengan penguatan program perlindungan sosial dan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Kementerian PPPA, hal yang sudah berkali-kali diusulkan oleh HNW saat rapat kerja di komisi VIII DPR.
Sayangnya Pemerintah tidak kunjung menguatkan Kementerian PPPA, baik secara kelembagaan maupun secara anggaran, sehingga Kementerian tersebut tidak memiliki kapasitas dan kewenangan yang cukup untuk turut berkontribusi masif menurunkan angka stunting dan melindungi anak-anak Indonesia dari stunting.
"Dan BPIP seharusnya mengembangkan pemahaman dan pengamalan semua sila Pancasila secara serius, jujur, baik dan benar. Melihat tingginya angka stunting itu, BPIP mestinya mendesak Pemerintah segera melaksanakan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yakni melindungi seluruh rakyat (termasuk anak-anak) dan memajukan kesejahteraan umum, bukan justru membiarkan pihak-pihak tertentu melempar tudingan soal stunting pada kelompok ibu-ibu karena aktif ikut pengajian, hal yang malah bisa mengganggu harmoni kesatuan bangsa," ujarnya.
"Dan akan lebih baik jika Bu Mega justru berlaku konstruktif dengan tidak menyalah-pahami Ibu-Ibu yang aktif ke pengajian, tapi lebih bijak juga bila mengajak ibu-ibu yang aktif di pengajian dan majelis taklim untuk makin berkontribusi positif, membantu Pemerintah selamatkan anak-anak Indonesia dari stunting dllnya," pungkasnya.
(ncm/ega)