Penelitian Sudding yang melakukan perbandingan di tiga negara yakni Amerika Serikat, Singapura, dan Filipina ini turut diapresiasi oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet). Ia mengatakan hasil penelitian menunjukkan kebijakan Penal pemberantasan korupsi di Indonesia yang saat ini dilaksanakan oleh KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan.
"Dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di lapangan, sering kali muncul perbedaan perspektif dan pemaknaan fungsi koordinasi dan supervisi yang menyebabkan kontra produktivitas dalam usaha pemberantasan korupsi," jelas Bamsoet dalam keterangannya, Jumat (17/2/2023).
Menurutnya, harus ada perubahan pendekatan dan mindset aparat penegak hukum (APH) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Dari pendekatan retributif (menghukum dengan ekspektasi menimbulkan deterent effect) ke pendekatan restoratif (pemulihan kerugian negara dari tindakan pelaku tipikor) dengan mengupayakan penyelesaiannya secara menyeluruh, mengedepankan restorative justice berdasarkan asas subsidiaritas," ujarnya.
Bamsoet yang menghadiri Sidang Terbuka Promosi Doktoral Sudding di Bandung menerangkan isi penelitian Sudding yang menyoroti kurangnya pemahaman penyidik. Khususnya mengenai peraturan perundang-undangan administrasi terhadap tindak pidana yang diatur dalam berbagai UU sektoral.
Ia mencontohkan sejumlah pelanggaran peraturan, antara lain terhadap UU Kehutanan, UU Kepabeanan, UU Keimigrasian, UU Perpajakan, UU Lingkungan Hidup, UU Telekomunikasi, UU Perikanan, UU Pertambangan, UU Pasar Modal, hingga UU Perbankan. Hal ini mengakibatkan inkonsistensi kebijakan Penal APH dalam pemberantasan korupsi karena menganggap UU Tipikor sebagai 'UU sapu jagat'.
"Padahal pasal 14 UU Tipikor yang menganut Asas systematische specialiteit atau asas kekhususan yang sistematis tidak mengatur demikian. Karena itu dalam hasil penelitian ini, Pak Sudding juga menekankan bahwa rekonstruksi kebijakan Penal pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh APH berdasarkan hukum pidana administrasi harus diarahkan pada penguatan fungsi koordinasi dan supervisi APH, serta perubahan paradigma penyidik dalam memahami ketentuan hukum pidana administrasi," terangnya.
Sesuai pasal 20 UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, jika ada temuan BPK yang mengindikasikan adanya kerugian negara karena masalah administrasi maka diberikan waktu selama 60 hari kepada pihak tersebut untuk mengklarifikasi sekaligus mengembalikan kerugian negara. Sehingga tidak merta langsung proses pidana.
"Hal tersebut juga diperkuat dalam pengarahan Presiden Joko Widodo kepada seluruh Kepala Kepolisian Daerah dan Kepala Kejaksaan Tinggi, pada Agustus 2015 dan Juli 2016. Pada intinya Presiden menekankan kepada Kapolda dan Kajati untuk bisa membedakan mana yang masalah administrasi dan mana yang mencuri," paparnya.
"Karena itu, kebijakan diskresi tidak bisa dipidanakan. Begitupun dengan tindakan administrasi pemerintahan juga tidak bisa dipidanakan," tegas Bamsoet.
Sebagai informasi, penelitian Sudding berada di bawah bimbingan Tim Promotor Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, dan Dr. Indra Perwira. Kegiatan sidang terbuka ini dihadiri oleh Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, Kabaintelkam Polri Komjen Pol Amad Dofiri, Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Suntana, Kajati Jawa Barat Asep Mulyana, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto, Wakil Ketua BURT DPR RI Achmad Dimyati Natakusumah, dan Wakil Ketua Banggar DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal.
Hadir pula Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid, serta para anggota Komisi III DPR RI antara lain Arteria Dahlan, Mulfachri Harahap, Hinca Panjaitan, dan Sufriansyah. (ncm/ega)