Tato di Indonesia pernah diasosiasikan dengan premanisme. Pada era '80-an, mereka yang bertato dianggap layak meregang nyawa di tangan para penembak misterius besutan Orde Baru.
Namun, persepsi tato semakin bergeser dari masa ke masa. Seiring dengan keterbukaan informasi dan referensi, pengguna tato kian meluas. Karenanya, budaya tato terus merenggang dari kesan preman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ignatius Aditya, peneliti dari Jakarta Center for Cultural Studies menuturkan, kini tato semakin jauh dari impresi menyeramkan. Hal ini berhubungan pemaknaan tato yang terus bergeser. Tato yang dulu dimaknai sebagai pemberontakan, kini tak lebih dari bentuk konsumerisme semata.
"Tato itu sebagai tidak ubahnya kayak beli baju. Itu merepresentasikan bagaimana dia menggunakan itu sebagai tren atau sebagai ekspresi, ekspresi tren tertentu hingga akhirnya yaitu tidak ubahnya sebagai konsumerisme. Dan juga akhirnya dikemas sedemikian rupa dengan narasi-narasi tertentu hingga akhirnya tidak lagi menyeramkan," tutur Adit dalam Sudut Pandang detikcom, Minggu (12/2).
Hal serupa juga dijelaskan seniman tato Jessica Johanna. Ia menuturkan, tato adalah bagian dari tren. Referensi desain tato pun banyak bertebaran di media sosial, sehingga para peminat bisa lebih mudah menentukan gaya yang paling cocok untuk dirinya.
"Karena tato studio juga udah makin banyak, menurut aku anak-anak muda sekarang lebih nggak terlalu mikir kalau mau tato. Pokoknya lebih gampang dicapai lah tato itu, nggak kayak dulu kalau mau tato kan kayak underground, diam-diam gitu kan. Dan karena Pinterest dan sosmed juga, tato tuh jatuhnya jadi trendy ya, tato kecil-kecil, tato satu gambar di Pinterest tuh yang di-request sama orang tuh bisa berkali-kali," tutur wanita yang biasa dikenal sebagai Jessicavije ini.
Selain tren, tato juga merupakan ekspresi diri. Maka, tak jarang peminat tato menginginkan ornamen yang unik dan satu-satunya.
Untuk itu, masing-masing seniman tato memiliki gaya ilustrasinya sendiri. Pada praktiknya, Jessica menyarankan agar para peminat bebas berkolaborasi dengan seniman tato yang dianggap mampu mewujudkan visi dari tato yang ingin dibuat.
"Ngobrol sama artist-nya, pengin objeknya kayak apa. Nanti let the artist draw a unique piece for you, gitu. Jadi kalau saran aku sih jangan sembarang natonya, cari artis yang benar-benar kamu suka artwork-nya, terus collab sama dia," ujar Jessica.
Selain desain yang semakin beragam, proses pembuatan tato juga semakin canggih. Salah satunya soal manajemen rasa sakit. Kini, rasa sakit yang identik dengan pembuatan tato dapat diminimalisir dengan bantuan teknologi.
"Kalau dari klien aku yang senior, misalnya yang punya tato 15-30 tahun lalu gitu mereka bilang sekarang nggak sesakit dulu, karena mesinnya lebih soft, teknik artist-nya juga bagus, jarumnya nggak kedaleman, lebih bagus, lebih tajam. Pastinya lebih nggak sakit sekarang," kata Jessica.
Kata mereka yang bertato, halaman selanjutnya.
Perkembangan teknologi pembuatan tato tidak terjadi secara tiba-tiba. Adit menjelaskan, hingga akhir '80-an, desain dan proses pembuatan tato di Indonesia masih terbilang tradisional.
"Jadi bentuk tato pada zaman itu belum modern, mungkin masih tradisional dan mereka masih mengikuti pola tato yang biasa dilakukan oleh suku Mentawai dan suku Dayak juga pada saat itu. Karena teknologinya belum tinggi waktu itu, belum berkembang, maaf," terang Adit.
Maka, seiring dengan masuknya arus informasi, terjadi kemajuan teknologi pembuatan tato. Alhasil, seniman dan studio tato menjadi semakin banyak. Teknik pembuatan tato pun semakin beragam dan canggih.
"Semakin berkembangnya zaman, teknologi tato semakin berkembang. Misalkan sekarang ada istilah semi-permanent, dan bentuk-bentuk tinta tato yang mungkin hanya kelihatan kalau dia ada di sinar UV. Itu kan sangat sangat memungkinkan banyak ekspresi lebih lanjut, jadi menurut saya sih ranah ini penting untuk kita memahami lebih lanjut walaupun mungkin butuh penelitian yang panjang juga gitu," kata Adit.
Pergeseran ini membuat tato lebih mudah dijangkau banyak orang. Tato tidak lagi identik dengan mereka yang memberontak. Melainkan, bergeser menjadi aksesoris tubuh semata.
Marco, salah seorang peminat tato yang mempercayakan tubuhnya dirajah Jessica mengatakan, ia memutuskan bertato hanya karena ingin mengekspresikan dirinya.
"Tattoo for me is like an expression of myself. Well, ini karena aku suka Jejepangan, jadi ini basically angel tapi cyborg gitu. Jadi kayak, angel, half-nya robot," terang Marco saat menceritakan makna di balik tatonya.
Menanggapi persepsi negatif tato, Marco tak terlalu ambil pusing. Meski demikian, ia menyesalkan pandangan sebagian masyarakat yang masih menggunakan pendekatan lama tentang tato.
"I don't really care about what they say, karena menurut aku apa yang kita taruh di badan nggak menentukan apa yang ada di dalam kita gitu jadi value aku nggak ditentuin dari tato-tato aku. Kebanyakan orang memandang orang yang punya tato itu bandel lah, enggak," jelasnya.
Senada dengan Marco, Jessica juga berharap pandangan masyarakat terhadap tato bisa berubah. Baginya, tato hanya aksesoris, yang tidak mendefinisikan nilai diri seseorang.
"Menurut aku, stop judging people from cover. Tato tuh sama aja kayak pakai accessories, baju, jadi stop the stigma," tambah Jessica.