Sosok bersayap itu dengan dingin memandang ke bawah. Dengan garang, ia menghujamkan tombak ke arah sosok lain yang tergeletak di bawah kakinya. Adegan ini pertama kali dilukis pada abad ke-14 oleh Pietro Perugino, pelukis asal Italia, yang menggambarkan kemenangan Michael atas Lucifer.
Lukisan yang legendaris itu, kini tersemat di lengan Iyos Kusuma sebagai rajah pertamanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keputusan Iyos bertato bukan hasil pertimbangan singkat. Bertahun-tahun sebelumnya, ia sudah mendambakan seni rajah pada tubuhnya. Namun, niat ini terhalang kekhawatiran akan pengaruh tato pada kariernya.
"Pertama kali punya tato itu 2019, gue waktu itu umurnya 31 tahun. Dan kebetulan waktu itu gue baru pindah dari perusahaan lama ke perusahaan baru ini. Dan sebenarnya kalau di perusahaan lama, gue nggak punya, apa ya, nggak punya kebebasan sebesar ini untuk punya tato di tempat di bagian tubuh yang kelihatan," ungkap Iyos di program Sudut Pandang detikcom.
Kekhawatiran Iyos bukannya tanpa dasar. Stigma negatif tato di Indonesia masih belum benar-benar hilang. Tato dianggap kurang merepresentasikan aspek profesionalisme dan bertentangan dengan norma kesopanan.
Ternyata, perspektif ini bisa dijelaskan. Ignatius Aditya, peneliti dari Jakarta Center for Cultural Studies mengatakan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh aspek sejarah di masa Orde Baru.
"Orde Baru itu sangat strict pada permasalahan itu. Premanisme dianggap sebagai pengganggu kestabilan pada saat itu. Jadi, cara gampangnya mereka itu kan nggak mungkin harus wawancara orang satu-satu, jadi mereka akhirnya membentuk stigma itu, orang bertato itu preman," terang Adit.
Hingga kini, stigma buruk tato di era Orde Baru terus didaur ulang, bahkan diterapkan di ranah pekerjaan. Hal ini semakin diperkuat dengan sifat beberapa jenis pekerjaan yang tidak mengapresiasi ekspresi individual.
"Wacana-wacana itu, sampai sekarang hingga akhirnya masih diterapkan di beberapa instansi pemerintah, atau ranah konvensional seperti perbankan. Balik lagi kan ranah pekerjaan itu sangat-sangat tidak mengapresiasi ekspresi individual," jelas Adit.
Baca juga: Tato: Antara Seni, Ekspresi, dan Persepsi |
Kompromi tato, halaman selanjutnya.
"Contoh gampangnya aja dia kan kalau misalkan masuk kantor harus pakai kemeja, harus pakai jas, karena kan cenderung sama diseragamkan itu juga yang akhirnya membentuk peraturan tertentu hingga akhirnya orang-orang bertato ini nggak bisa diapresiasi untuk mempunyai pekerjaan kayak gitu," lanjutnya.
Seiring berjalannya waktu, jenis pekerjaan pun semakin beragam. Hal ini juga diikuti dengan dukungan terhadap ekspresi individual karyawan, termasuk dalam bentuk tato. Di pekerjaan-pekerjaan ini, tato tidak selalu dianggap sebagai penghalang bagi etos kerja dan profesionalitas karyawan.
Meski demikian, sisa stigma tetap ada. Seperti yang dialami Iyos, ia mesti memahami ada kalanya tato harus 'disembunyikan' sementara.
"Gue sebagai orang yang punya tato, sadar betul kan, kalau masyarakat kita itu dibentuk sama norma-norma yang ada di masyarakat. Terutama norma agama dan norma kesopanan mungkin ya. Itu kan nggak bisa gue ubah, gitu. Jadi lebih ke gimana kita bisa adjust diri kita. Misalnya ketemu klien yang sifatnya formal. Itu pasti gue punya kesadaran untuk pakai kemeja lengan panjang. Tapi kalau ternyata kliennya lebih ke lifestyle, di acara-acara yang kasual, itu ya monggo banget sih kalau gue mau pakai kaus aja dan nunjukin tato gue," jelas Iyos.
Iyos hanya satu dari sekian banyak orang bertato dalam tubuh korporasi. Meski ada saat di mana tato harus 'bersembunyi', ia perlahan-lahan diakui.
Adit mengatakan, minat masyarakat masyarakat terhadap tato kian membesar. Namun, ia tidak dapat memastikan kapan dan bagaimana pemaknaan tato sebagai seni akan bergeser di masa depan. Jalan tengah yang dilakukan Iyos adalah sebuah refleksi, tentang tato yang perlahan mendapat tempat di mata publik.