Pasangan intim yang dimaksud Rainy bisa suami, pacar, mantan suami atau mantan pacar. Disebut femisida karena kasus ini, jelas Rainy, tergolong pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan yang didorong superioritas, dominasi, terhadap perempuan, ketimpangan kuasa, sikap posesif dan kepuasan sadistik.
"Perceraian atau perpisahan tidak menjamin perempuan bebas dari tindak kekerasan oleh mantan pasangannya karena ego maskulinitas," kata Rainy.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia juga menyoroti alibi pelaku membunuh Elisa karena kesal Elisa punya pacar baru lagi. "Hal ini menunjukkan sikap superioritas dan posesif mantan pacar," tutur Rainy.
Komnas Perempuan mencatat banyak kasus femisida yang diawali penganiayaan korban sebelum dibunuh. Dalam kasus Elisa, korban dianiaya dengan cara membekap dan mencekik sebelum dipukul keras dengan kloset.
"Oleh karena itu femisida dapat disebut kekerasan paling ekstrim dan merupakan tindak kekerasan berlapis-lapis," jelas Rainy.
Rainy menuturkan korban yang sudah wafat tetap berhak atas keadilan. Dia mengatakan keluarga korban juga harus mendapat keadilan.
"Pelaku harus dihukum setimpal dengan pemberatan pada aspek pembunuhan berbasis gender dan kekerasan berlapis, termasuk membayar ganti rugi," kata Rainy.
"Aparat penegak hukum harus menghindari impunitas pelaku," lanjutnya.
Selain hukuman pidana, menurut Rainy, pelaku juga perlu mendapat rehabilitasi agar tidak mengulangi perbuatannya.
(haf/lir)