Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) menjadi UU.Persetujuan UU P2SK diambil dalam rapat paripurna DPR RI ke-13 masa persidangan II tahun sidang 2022-2023. Ahli hukum perdata dan perjanjian, Dr Samuel M P Hutabarat angkat bicara perihal tersebut. Menurutnya, pengesahan RUU menjadi UU P2SK itu dinilai menjadi pangkah strategis sektor keuangan reformasi. Mengingat, sektor keuangan merupakan tuntutan yang harus dijawab oleh pemerintah Indonesia saat ini.
"Hal ini terkait dengan kemajuan sektor keuangan yang sangat cepat dan semakin penting, menantang, dan dinamis. Sementara itu, di sisi lain, kemajuan teknologi informasi saat ini, membuat sektor keuangan menjadi bagian yang semakin tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sehari-hari manusia," kata Samuel kepada detikJatim, Selasa (7/2/2023).
Untuk itu, Samuel ingin agar masyarakat perlu mencermati adanya perubahan kondisi atau karakteristik dari sektor keuangan itu sendiri. Ia menganggap, kondisi perekonomian dunia yang diprediksi tahun 2023 ini cenderung tidak memberikan kepastian dan potensi resesi ekonomi, dimana pemerintah harus berpikir keras agar dapat lolos dari potensi resesi dunia di tahun 2023.
"Suatu keyakinan kita bersama bahwa selalu ada harapan dan peluang dibalik terjadinya suatu permasalahan dan selalu ada jalan yang akan tetap terbuka saat kita mampu menggali potensi kekuatan kita bersama sebagai bangsa besar," ujar Dosen Fakultas Hukum Atma Jaya Jakarta dan Universitas Pelita Harapan itu.
"Demi untuk kepentingan bangsa kita meyakini pemerintah tidak akan tinggal diam merelakan bangsa Indonesia yang besar ini masuk dalam suatu krisis ekonomi, sehingga akhirnya membuat susah rakyat," imbuhnya.
Langkah strategis pemerintah dalam mereformasi kebijakan di berbagai sektor, dinilai sebagai suatu hal yang harus dilakukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Maka dari itu, dengan disahkan dan diundangkannya UU RI Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (selanjutnya disebut UU P2SK) yang dilakukan pada tanggal 12 Januari 2023, merupakan salah satu jawaban dalam menghadapi ketidakpastian perekonomian dunia serta cepatnya kemajuan dari sektor keuangan.
UU P2SK sendiri terdiri dari 341 Pasal dan 26 Bab dan dikenal sebagai Omnibus Law sektor keuangan, yang notabene merupakan langkah strategis pemerintah Indonesia dalam rangka mereformasi sektor keuangan. Reformasi sektor keuangan merupakan suatu keharusan dalam menjawab kondisi perekonomian dunia saat ini.
Selain itu, hadirnya UU P2SK ini juga mempunyai maksud meningkatkan taraf hidup dan mengurangi ketimpangan ekonomi yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Serta, bertujuan mengoptimalkan fungsi intermediasi sektor keuangan meningkatkan daya saing dan efisiensi sektor keuangan, mengembangkan instrumen di pasar keuangan, hingga memperkuat mitigasi risiko.
Kendati demikian, reformasi keuangan yang tertuang dalam UU P2SK memberikan peran tambahan terhadap sejumlah lembaga keuangan terkait. Mulai dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sampai Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi
(Bappebti).
"Hadirnya UU P2SK membuat OJK mendapat tambahan tugas salah satunya mengatur dan mengawasi transaksi aset kripto. Tugas ini sebelumnya dilakukan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Pada sektor asuransi, para pemegang Polis Asuransi dapat sedikit bernafas lega karena polis yang dipegang para nasabah telah dilindungi oleh pemerintah melalui LPS," ujarnya.
Dalam UU P2SK, memandatkan LPS melindungi dana masyarakat yang tidak hanya yang ditempatkan pada bank. Melainkan, juga pada perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah. Bank Indonesia pun memperoleh peran tambahan untuk mengelola uang rupiah digital.
Sinergi dan Harmonisasi Dalam Masa Transisi
Tambahan dan pengalihan tugas dan tanggung jawab atas bidang tertentu yang terjadi pada Bank Indonesia, OJK, dan Bappebti memerlukan waktu dan sinergitas dari masing-masing lembaga. Sebab, dalam masa transisi, tetap memperhatikan aturan atau ketentuan sudah ada.
"Sebagai contoh, OJK menerima pelimpahan tugas dan kewenangan dalam mengawasi transaksi aset kripto (cyrpto asset) yang sebelumnya dibawah pengawasan Bappebti. Dalam tahap pengaturan dan pengawasan perdagangan aset kripto, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia sudah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset) (selanjutnya disebut Permendag No. 99 tahun 2018)," tuturnya.
Samuel mewanti-wanti, ada beberapa ketentuan yang perlu menjadi perhatian. Diantaranya Pasal 1 Permendag Nomor 99 tahun 2018 yang berbunyi:
"Aset Kripto (Crypto Asset) ditetapkan sebagai Komoditi yang dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang diperdagangkan di Bursa Berjangka".
Lalu, ada tertuang jua dalam Pasal 2 Permendag Nomor 99 tahun 2018 perihal Pengaturan lebih lanjut mengenai penetapan Aset Kripto (Crypto Asset) sebagai Komoditi yang dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang diperdagangkan di Bursa Berjangka, pembinaan, pengawasan, dan pengembangannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.
Dalam 2 pasal tersebut, lanjut Samuel, secara jelas dan tegas sudah menempatkan Aset Kripto sebagai komoditi yang menjadi subjek kontrak berjangka dan diperdagangkan di bursa berjangka. Disisi lain Pasal 8 ayat (4) UU P2SK yang mengubah Pasal 6 ayat (1) menjadi Otoritas Jasa Keuangan. Sehingga, melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di sektor ITSK serta aset keuangan digital dan aset kripto, demikian juga dengan ketentuan pelaksana atau turunannya Kepala Bappebti yang sudah menerbitkan beberapa peraturan Kepala Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Perba) terkait dengan perdagangan kripto diantaranya Peraturan Bappebti Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Bappebti Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka, dimana pengawasan atas transaksi jual dan beli aset kripto dilakukan oleh bursa berjangka.
"Ketentuan tersebut di atas, telah mengatur hal yang berbeda mengenai aset kripto, sebab semula perdagangan aset kripto dibawah pengaturan dan pengawasan Bappebti. Namun, hadirnya UU P2SK telah mengalihkan pengaturan dan pengawasan perdagangan aset kripto ke OJK, untuk itu perlu adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan dan sinergi kelembagaan sangat dibutuhkan sehingga tidak terjadi tumpeng tindih akan peraturan dan ketentuan terkait," tutur Samuel yang juga Ketua Umum Ilumni FH Unpar itu.
Samuel menyatakan, proses peralihan beberapa tugas dan kewenangan dari Bappebti kepada Bank Indonesia serta OJK sebagai konsekuensi dari hadirnya UU P2SK harus dilakukan dengan hati-hati. Lantaran, berkaitan dengan infrastruktur serta regulasi yang sudah ada.
"Sinergi dari masing-masing Lembaga yang membuka diri untuk bekerjasama serta melepaskan egos sektoral merupakan kunci dari keberhasilan dari masa transisi ini. Pada masa transisi ini harus memberikan perhatian pada faktor-faktor penting dari UU P2SK, agar terciptanya suatu kepastian orientasi bagi perilaku masyarakat umum dan para pelaku sektor keuangan, sehingga UU P2SK dapat menetapkan norma-norma yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan maupun yang dilarang dalam menjalankan kegiatan di sektor keuangan dengan tujuan akan terciptanya kesinambungan tertib hukum yang memberikan acuan bagi perilaku masyarakat di sektor keuangan di masa yang akan datang," ungkap Samuel.
"Demikian juga dengan kehadiran P2SK diharapkan dapat terjadi transparansi hukum guna menghindari kebingungan normatif masyarakat, kebingungan yang terjadi karena tidak konsistennya dalam proses penegakan hukum serta tidak terlindunginya kepentingan masyarakat," tutupnya.
(asp/asp)