Bila 'Pesulap' Putusan MK Terungkap, Bagaimana Nasib Aswanto?

ADVERTISEMENT

Perspektif

Bila 'Pesulap' Putusan MK Terungkap, Bagaimana Nasib Aswanto?

Danu Damarjati - detikNews
Senin, 06 Feb 2023 17:28 WIB
Petugas gabungan dari TNI dan Polri mengamankan area sekitar gedung MK. Pengamanan itu dilakukan jelang sidang putusan MK terkait sengketa Pilpres 2019.
Foto ilustrasi gedung MK (Grandyos Zafna/detikcom)
Jakarta -

Ada skandal yang mencuat dari Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan mengenai gugatan pemberhentian hakim konstitusi Aswanto menyedot perhatian publik. Soalnya, ada perubahan antara bunyi putusan yang dibacakan hakim dengan dokumen yang diunggah di situs web MK. Bila ternyata MK salah dalam skandal ini, apakah Aswanto bisa balik lagi ke kursi hakim konstitusi?

Sebagaimana diketahui, Aswanto dipecat karena DPR tidak suka. Sebabnya, Aswanto dinilai DPR sering menganulir produk undang-undang yang sudah disahkan DPR, termasuk UU Cipta Kerja.

Tak terima atas desakan DPR ke Aswanto, pengacara bernama Zico Leonard Djagardo Simanjuntak melayangkan gugatan ke MK. Zico menilai tekanan politik dari DPR membuat MK menjadi tidak independen sehingga MK mendepak Aswanto. Zico meminta MK menangguhkan kebijakannya, dalam hal ini menangguhkan untuk memecat Aswanto.

Meski demikian, singkat cerita, Aswanto diberhentikan dan diganti Guntur Hamzah pada 23 November 2022. Pada hari yang sama, putusan atas gugatan Zico (Nomor 103/PUU-XX/2022) dibacakan MK. Hakim Saldi Isra membacakan (penggalan) kalimatnya dengan bunyi begini:

"Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat 2 UU MK...".

Belakangan diketahui, kalimat dalam putusan itu berubah bila dibandingkan dengan putusan yang diunggah di situs web MK. Begini bunyinya:

"Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat 2 UU MK...".

Perbedaan ada pada frasa 'dengan demikian' menjadi 'ke depan'. Bila merujuk pada logika kalimat putusan di atas, dapat dipahami bahwa putusan yang dibacakan hakim konstitusi pada 23 November 2022, pemberhentian hakim MK harus sesuai dengan Pasal 23 ayat 2 UU MK.

Namun, bila frasa 'dengan demikian' diganti dengan 'ke depan', pemberhentian hakim MK sebelum putusan MK tersebut dapat dilakukan tanpa harus sesuai dengan Pasal 23 ayat 2 UU MK. Lebih spesifik lagi, pemberhentian hakim Aswanto tidak harus sesuai alasan yang disyaratkan di Pasal 23 ayat 2 UU MK. Namun, setelah putusan ini saja, pemberhentian hakim MK harus sesuai Pasal 23 ayat 2 UU MK.

AswantoAswanto (Ari Saputra/detikcom)

Aswanto tak bisa balik lagi?

Ahli tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, memberikan perspektifnya. Saat ini, kasus ini sedang diperiksa oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK). Apakah bila MKMK memvonis ada kesalahan etik dalam putusan tersebut, lantas apakah Aswanto bisa balik lagi ke kursi hakim konstitusi?

"Konsekuensinya tidak otomatis Pak Aswanto menduduki jabatan lagi. Harus ada koreksi-koreksi lagi secara administratif," kata Bivitri kepada detikcom, Senin (6/2/2023).

Bivitri SavitriBivitri Susanti (Ari Saputra/detikcom)

Putusan Perkara Nomor 103/PUU-XX/2022 yang mengandung polemik itu tidak lantas menjadi batal. Apalagi, itu adalah putusan MK yang sifatnya inkracht.

"Kalau di pengadilan biasa, ada yg namanya 'upaya hukum' yaitu banding dan kasasi. Tapi kalau di MK, nggak ada upaya hukum sama sekali, karena Putusan MK itu sifatnya final dan mengikat," kata Bivitri.

Mantan Ketua MK yang pertama, Jimly Asshiddiqie, menilai memang ada yang salah dalam perubahan putusan itu. Meski demikian, dia menghormati proses yang sedang dijalankan di MKMK.

"Itu (dugaan perubahan putusan di MK) tidak bisa dibenarkan. Tapi tunggu, sudah ada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), saya tidak mau mengganggu Majelis," kata Jimly kepada detikcom, Jumat (3/2).

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie angkat suara terkait wacana pemulangan 600 WNI mantan anggota ISIS ke Indonesia. Dia menyebut harus ada pencabutan paspor para mantan anggota ISIS tersebut.Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie (Jefri/detikcom)

MKMK kini diisi oleh Profesor Enny Nurbaningsih, mantan hakim MK Dewa Gede Palguna, dan ahli pidana UGM Profesor Sudjito. "Ya kita tunggu saja, kan sudah ada Majelis Kehormatan. Kita tunggu saja, kan sedang diproses," kata Jimly.

Simak juga 'MK Bentuk MKMK Ungkap Perubahan Substansi Perkara Hakim Aswanto':

[Gambas:Video 20detik]



(dnu/asp)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT