Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menilai ibu kota negara tidak boleh menjadi medium untuk konflik apa pun, termasuk politik. Ini disampaikan Fahri saat menanggapi sodetan Kali Ciliwung yang disebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) mangkrak selama 6 tahun.
"Kalau menurut saya, saya semakin sadar sebaiknya memang ibu kota itu harus dipisahkan dari konflik politik rutin," kata Fahri dalam diskusi Adu Perspektif kolaborasi detikcom dengan Total Politik dengan tema 'Politik Kekuasaan Desa', Rabu (25/1/2023).
Menurut Fahri, hingga saat ini tugas untuk membangun Indonesia belum selesai. Dia lantas menyinggung bangunan pemerintahan yang masih diwariskan oleh Belanda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalnya gedung parlemen, kita belum pernah membangun gedung parlemen. Kalau kita bicara istana pemerintah, semua kantor pemerintah sekarang terutama istananya, bukan Istana Negara, itu adalah rumah dari pemilik perusahaan-perusahaan zaman Belanda dulu, baik yang di Bogor maupun yang di Istana Merdeka," tutur dia.
Fahri kemudian menyinggung ibu kota Amerika Serikat, Washington DC. Dia menyebut luas Washington DC itu seperti dari gedung DPR, Istana Merdeka, dan gedung Mahkamah Agung.
"Makanya waktu kita mendefinisikan daerah khusus itu, konsep daerah khusus ini sebenarnya, kalau kita memakai Washington DC, itu luasnya cuma 17x11 kilometer. Jadi kalau kita hitung luasnya persis segitiga antara Senayan, yaitu gedung DPR, kemudian Istana Presiden, kemudian gedung MA, itu kalau diputar segi empat itulah luas daerah khusus ibu kota yang disebut dengan District of Columbia (DC) itu, karena Bung Karno dulu tahun '62 itu mengambil inspirasi dari situ," tutur dia.
Menurut Fahri, pengelolaan ibu kota negara itu secara teknik bisa disebut kontroversial. Dia berharap pengelolaan itu tidak menjadi konflik.
"Makanya pengelolaan ibu kota itu technically kontroversial, dan sebaiknya tidak kemudian menjadi domain konflik, termasuk juga dipikirkan masa depan bentuk pengelolaan ibu kota yang tidak boleh masuk ke politik praktis yang berbenturan dengan kepentingan kabinet," tutur dia.
"Ada semacam level politik tertentu yang memungkinkan satu kebijakan publik tidak bisa dieksekusi di ibu kota dan akhirnya itu menjadi problem," imbuhnya.
Konflik ini, kata Fahri, harus dihindari di masa depan. Dia lantas menyinggung soal pembangunan IKN Nusantara.
"Harusnya itu dihindari di masa depan. Itulah yang didesain di IKN, misalnya saya mengusulkan misalnya capres-capres atau partai debat kalau kalian menang mau mendukung IKN atau tidak, harusnya itu konteksnya gitu. Karena ini residunya, karena itu masa depan kita," jelasnya.
Selengkapnya pada halaman berikut.
Fahri kemudian berbicara pemindahan ibu kota ke Teluk Jakarta. Hal ini, kata dia, sebagai solusi terdekat.
"Mendingan pindah, ngomong sama konglomerat yang bikin reklamasi itu bilang 'saya ambil alih ya semua reklamasi', saya udah ukur lho, pulau-pulau yang dibentuk oleh reklamasi persis sebesar Washington DC dan gambarnya itu gambar Burung Garuda nanti, persis seperti Washington DC 17x11 Cm, saya udah ukur," jelasnya.
"Jadi kalau saya solusi terdekat itu, tapi kalau jangka panjang kita juga bisa membela apa yang dilakukan Pak Jokowi di IKN, jadi itu bisa jadi transisi, IKN bisa jadi masa depan," lanjutnya.
Fahri berharap usulannya itu diterapkan agar kasus seperti sodetan Ciliwung ini tak lagi menjadi konflik politik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah khusus ibu kota di masa depan.
"Maksud saya, please, ini di-address, ini penting, ini kasus di sodetan ini hanya kasus kecil dari satu pengelolaan politik masa depan di mana ibu kota negara tidak boleh menjadi medium konflik apa pun, ibu kota adalah ibu kota, tidak boleh konflik di situ," katanya.