Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menekankan perayaan Tahun Baru Imlek yang secara resmi diakui oleh negara dan menjadi hari libur nasional memiliki makna penting. Menurutnya hal tersebut menunjukkan betapa bangsa Indonesia menghargai keberagaman.
Dia mengatakan jika melihat kembali sejarah, perjuangan menuju RI merdeka berkat gerakan masif dan inklusif yang melibatkan seluruh elemen bangsa. Tidak terkecuali etnis Tionghoa, yang telah berasimilasi menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
"Karena itu, perayaan Imlek tidak semata menjadi milik warga Indonesia keturunan Tionghoa, melainkan telah menjadi perayaan bagi seluruh elemen suku bangsa. Melalui perayaan Imlek, diharapkan suka cita, kemakmuran, dan kemajuan senantiasa menyertai kita semua," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Senin (23/1/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut ia sampaikan usai menghadiri makan malam perayaan tahun baru Imlek 2574 bersama dengan keluarga dan Gerakan Keadilan Bangun Solidaritas (GERAK BS) di Restoran Tamarind and Lime, di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, Minggu (22/1) malam.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan pengakuan negara terhadap Tahun Baru Imlek tidak lepas dari jasa Presiden Republik Indonesia ke-4 KH Abdurrahman Wahid yang pada tahun 2001 menetapkan Tahun Baru Imlek menjadi hari libur fakultatif. Dilanjutkan oleh Presiden Republik Indonesia ke-5 Megawati Soekarnoputri yang menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.
"Pengakuan negara tersebut tidak lepas dari keberadaan bangsa Indonesia yang memiliki tingkat heterogenitas sangat tinggi, termasuk di dalamnya terdapat saudara-saudara dari etnis Tionghoa. Peran mereka dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan juga sangat besar," tuturnya.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini pun mencontohkan peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 yang memuat kiprah dan kontribusi etnis Tionghoa dalam pergerakan kebangsaan. Pada saat itu rumah pergerakan yang sekaligus menjadi tempat deklarasi Sumpah Pemuda adalah milik seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liong.
"Bahkan lagu Kebangsaan Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman, diterbitkan oleh surat kabar Sin Po dan direkam di studio milik seorang Tionghoa bernama Yo Kim Tja," jelas Bamsoet.
Karena itu dia menekankan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan. Apalagi Indonesia memiliki tingkat heterogenitas sangat tinggi, dengan jumlah penduduk lebih dari 273 juta jiwa, terdiri dari 1.340 suku dengan 733 bahasa, serta menganut 6 agama serta puluhan aliran kepercayaan. Menurut Bamsoet kondisi ini menempatkan RI pada posisi yang rentan dari ancaman perpecahan.
"Kita dapat belajar dari referensi global bahwa pada masanya, Uni Soviet dan Yugoslavia adalah representasi negara besar dan maju di kawasan Eropa Timur. Namun kegagalan dalam membangun semangat kebersamaan dan kelalaian dalam merawat soliditas ikatan kebangsaan, telah menyebabkan kedua negara besar tersebut terpecah-belah dan tercerai-berai. Karena itu, melalui perayaan Imlek 2574, mari senantiasa kita rajut dan jaga keberagaman sebagai berkah dari Tuhan yang Maha Esa," pungkas Bamsoet.
(ega/ega)