Cerita Politikus PKB Tionghoa Alami Pelarangan Bahasa Mandarin

Mulia Budi - detikNews
Jumat, 20 Jan 2023 17:00 WIB
Diskusi PKB mengenaik Imlek. (Mulia Budi/detikcom)
Jakarta -

Ketua DPP PKB Daniel Johan mengenang masa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang dialaminya. Daniel mengaku tak pandai berbahasa Mandarin lantaran penggunaan mandarin dilarang pada masa tersebut.

"Di zaman saya, abang saya, kakak saya masih bisa bahasa Mandarin. Karena mereka hidup waktu belum ada pelarangan. Waktu zaman saya itu sudah ada pelarangan di seluruh sekolah dilarang adanya pelajaran bahasa Mandarin. Bukan hanya pelajaran tetapi di seluruh toko, sekarang kan kayak begini ni, PKB dengan bangga bisa menulis Mandarin kan. Toko-toko baik di Glodok maupun non Glodok yang restoran chinnese food, emang ada tulisan kan, waktu zaman saya, saya rasakan tidak boleh, bahkan kalau dilakukan melanggar hukum pidana itu," kata Daniel dalam diskusi publik berjudul Imlek dan Sejarah Kelam Diskriminasi di Indonesia di DPP PKB, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (20/1/2023).

Daniel mengatakan kemampuan bahasa Mandarinnya lemah. Dia menyebut dirinya sebagai generasi yang hilang akibat dampak diskriminasi tersebut.

"Jadi, karena waktu saya hidup sekolah diberangus tidak boleh menggunakan bahasa Mandarin sehingga saya tidak lagi merasakan mendapat kesempatan belajar Mandarin. Sehingga saya menjadi generasi yang hilang, bagian dari the lost generation dampak dari diskriminasi," ujarnya.

Dia membeberkan bentuk diskriminasi lain yang dialaminya. Di antaranya tidak diperbolehkan menonton film bahasa Mandarin hingga KTP yang ditandai sebagai keturunan Tionghoa.

"Jadi ngumpet-ngumpet tuh nonton film Mandarin. Boleh. Gitu. Jadi itu salah satu yang kita rasakan bahkan KTP saya sempat ditandai dengan titik kalau sekarang kita semua sama. Dulu warga Tionghoa, nomor KTP dikasih tanda titik, nah itu wujud dari diskriminasi," ujarnya.

Daniel bersyukur diskriminasi itu semakin berkurang sejak pencabutan Perpres diskriminasi kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dia menyebut perayaan Imlek yang dijadikan hari libur nasional merupakan tanda kemajuan dari diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.

"Kita bersyukur, sejak Gus Dur mencabut Perpres diskriminasi, bahkan kita semakin maju ada UU antidiskriminasi, tidak ada lagi negara yang mendiskriminasi waganya sendiri. Semua warga Indonesia sama di hadapan hukum dan UU. Jadi itu suatu kemajuan sehingga kalau merayakan Imlek, bukan hanya kita menyambut dengan meriah saling mendoakan saling memberikan maaf memaafkan. Tetapi Imlek juga momentum, simbolik, semangat bagi bangsa ini bukan hanya orang Tionghoa, bagi bangsa ini untuk menghapus segala bentuk diskriminasi, apapun. Kepada negara terhadap warga negaranya," tutur Daniel.

Diskriminasi yang sama juga dialami mantan Wali Kota Singkawang, Hasan Karman. Hasan mengaku sempat takut saat hendak mencalonkan diri sebagai wali kota.

"Saya sendiri ketakutan, ketakutan gini kalau saya jadi wali kota bisa nggak saya memerintah sebagai wali kota karena maryoritas di pemerintah kota itu nggak ada Tionghoa-nya, tiba-tiba kulit warna kuning mata sipit jadi kepalanya gitu," ujar Hasan.

Lihat juga video 'Dasco: Sekber PKB-Gerindra Diresmikan 23 Januari 2023':






(rfs/rfs)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork