Sebanyak 20 orang dari penjuru negeri meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membuat payung hukum agar koruptor dijatuhi hukuman mati. Permohonan ini bukan lah yang pertama kali diajukan ke lembaga penjaga konstitusi itu.
Pemohon terakhir berjumlah 20 orang, di antaranya Andi Redani Suryanata dari Kutai Kertanegara, Abdullah Ariansyah dari Musi Banyuasin dan Muhammad Ridwan dari Buton Tengah. Mereka menggugat Pasal 603 KUHP baru yang berbunyi:
Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keduapuluh WNI itu berharap agar hukuman mati dimasukkan dalam ancaman hukuman bagi koruptor. Sehingga berbunyi:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.
Kegeraman rakyat terhadap koruptor itu bukan yang pertama kali dilampiaskan ke MK. Pada 2012, seorang guru les matematika, Pungki Harmoko, mengajukan uji materi UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dia menggugat pasal 2 ayat 2 UU Tipikor No 20/2001 yang mengatur vonis mati bagi pelaku Tipikor. Menurut Pungki pasal tersebut tidak adil dan merugikan hak konstitusinya sebagai warga negara Indonesia.
"Ada frasa dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU No 2001 telah menyebabkan hukum tidak dapat ditegakkan," ujar Pungki kala itu.
Pungki menganggap keberadaan pasal itu berbeda dengan pasal 2 ayat 2 di UU Tipikor pada tahun 1999.
"Bahwa pasal tersebut berbeda dengan UU Tipikor tahun 1999 yang sangat dimungkiknkan untuk memberlakukan hukuman mati bagi pelaku tipikor," ucap Pungki.
Dalam sidang, hakim Konstitusi Anwar Usman menyatakan permohonan yang diajukan Pungki bukan menjadi wewenang MK.
"Ini bukan judicial review, tapi legislatif review. Untuk itu, coba dikaji kembali permohonan saudara, apakah memang harus seperti ini untuk ikut andil dalam memperjuangkan pemberantasan tipikor," kata Anwar saat itu.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Tonton juga Video: Nasib Benny Tjokro Lolos Dari Tuntutan Hukuman Mati di Kasus ASABRI
Akhirnya MK memutuskan tidak menerima permohonan Pungki.
"Pemohon tidak dapat secara jelas dan meyakinkan bahwa dirinya memenuhi kualifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional dan kerugian tersebut bersifat spesifik atau setidaknya potensial akibat berlakunya Penjelasan Pasal 2 ayat (2), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 UU 20/2001 dan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi. Oleh karena itu, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo," ucap MK.
Pada 2019, hukuman mati bagi koruptor juga dipersoalkan kembali ke MK. Permohonan itu diajukan oleh Jupri, Ade Putri Lestari, Oktav Dila Livia, Iksan Prasetya, Filix Juanardo, Ilyas Dunda dan Kindom Makula. Mereka menyoal Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor:
"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan."
Terhadap penjelasan pasal tersebut, Pemohon menyoroti kata 'nasional' setelah frasa 'bencana alam' Menurutnya, syarat "nasional" telah menghambat penerapan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana penanggulangan bencana alam yang tidak dikategorikan sebagai bencana alam nasional.
"Padahal, Pemohon berpandangan bahwa korupsi terhadap dana penanggulangan bencana alam pada dasarnya merupakan kejahatan serius dan tidak berkemanusiaan," ujar pemohon.
Lagi-lagi, MK memutuskan tidak menerima gugatan itu.
"Pemberatan pidana tersebut tidak harus berupa pidana mati tanpa mempertimbangkan gradasi atau besar-kecilnya suatu bencana alam. Hanya jika bencana alam tersebut telah mencapai gradasi atau status nasional, pemberatan pidana berupa pidana mati tersebut pantas dan proporsional untuk diberlakukan. Oleh karena itu, frasa 'bencana alam nasional' dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK, menurut Mahkamah, telah memenuhi pertimbangan kepantasan dan keproporsionalan dimaksud, sehingga dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa adanya kata 'nasional' dalam frasa 'bencana alam nasional' pada Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum," kata MK memberikan alasan tidak menerima gugatan tersebut.
Akankah gugatan Andi Redani Suryanata kali ini bisa membobol gawang MK?