Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud) Bali, Prof Dr Putu Gede Arya Sumertha Yasa, menyatakan sistem pemilu proporsional terbuka lebih menghadirkan semangat individualis. Hal itu akibat praktik pasar bebas yang terjadi.
"Ketimbang menghadirkan iklim musyawarah dalam menghadirkan wakil-wakil rakyat yang mumpuni sebagaimana dalam sila keempat Pancasila," kata Prof Sumertha Yasa dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (5/1/2022).
Mengapa? Menurut Prof Sumertha Yasa, hal itu karena fenomena caleg-caleg terpilih karena popularitas dan banyak uang, merupakan realitas yang terjadi dan tidak dapat dibantah. Maka, kadangkala, dalam rekrutmen caleg, kemampuan untuk memperjuangkan hak rakyat tidak menjadi ukuran prioritas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bayangkan saja, caleg yang memiliki kualifikasi yang mumpuni dari aspek intelektual selalu kalah dengan caleg yang mengandalkan modal besar. Bahkan ironisnya, dari pemilu ke pemilu, biaya yang dikeluarkan caleg semakin mahal," ujar Prof Sumertha Yasa.
"Realita menunjukkan bahwa kader partai yang mumpuni yang selama ini ikut bersama-sama menjalankan roda organisasi kepartaian dalam menjalankan pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas serta ikut membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sering kali dikalahkan dengan calon yang punya banyak uang," sambungnya.
Tentunya, kata Prof Sumertha Yasa, ini jauh dengan semangat nilai musyawarah, yang dikehendaki oleh pendiri bangsa ndonesia.
"Bahkan, karena sistem proporsional terbuka menghendaki persaingan sebebas-bebasnya, berdampak pada ruang-ruang perselisihan antarcalon legislatif, termasuk di internal Partai semakin mengeras. Lambat-laun, kerapuhan partai-partai politik, dapat terjadi akibat kuatnya individual bermodal di tubuh partai. Pada akhirnya tujuan dari partai politik sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan untuk turut andil dalam pembangunan Negara bisa terhambat," pungkas Prof Sumertha Yasa.
(asp/zap)