Bagir Manan: Jangan Sampai KUHP Baru Dilaksanakan Sewenang-wenang

Bagir Manan: Jangan Sampai KUHP Baru Dilaksanakan Sewenang-wenang

Tim detikcom - detikNews
Jumat, 23 Des 2022 10:34 WIB
Bunyi Pasal 359 dan 360 KUHP yang Jerat Tersangka Kanjuruhan
Foto: Getty Images/iStockphoto/Tolimir
Jakarta -

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan bicara soal KUHP yang baru disahkan menjadi undang-undang. Bagir menilai hukum yang baik harus dibuat dengan adil dan bertanggung jawab.

Hal itu disampaikan dalam diskusi publik yang diikuti pengurus PWI di seluruh Indonesiae. Adapun diskusi itu turut diikuti dosen Universitas Brawijaya dan aktivis HAM Al Araf, serta pakar hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik Wina Armada Sukardi. Bertindak sebagai moderator Agus Sudibyo.

Bagir menyampaikan keadilan yang dimaksud yakni memberikan kepuasan sebanyak mungkin orang. Sementara tanggung jawab yang dimaksud yakni tanggung jawab politik dan moral.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dalam konteks ini jangan sampai pelaksanaan KUHP nanti menjadi kesewenang-wenangan yang menjadi ketidakpuasan banyak orang," kata Bagir, dalam Diskusi Publik, di sekretariat PWI Pusat, Jakarta, Kamis (22/12/2022).

Sementara itu, Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari menegaskan kemerdekaan pers tak mungkin dilepaskan dari dukungan masyarakat yang demokrasi. Keduanya saling berkaitan erat karena saling mempengaruhi.

ADVERTISEMENT

"Di sinilah kami melihat beberapa pasal KUHP bermasalah dalam mengembangkan masyarakat yang demokrasi," tegas Atal.

Atal mengungkap akan menyusun program untuk menyosialisasikan pasal bermasalah di KUHP sekaligus mencari jalan terbaik.

"Kita bisa pilah-pilah dan fokus pada aspek -aspek tertentu," katanya.

Adapun isi KUHP yang baru disahkan ini dianggap sudah tertinggal dua abad dibandung perundangan modern. Pakar hukum pers, Wina Armada menyinggung UU tentang Penghasutan di Amerika pada 200 tahun lalu. UU tersebut, lanjut dia, membawa korban dua wartawan Amerika yang ditangkap dan dihukum berdasarkan undang-undang itu.

Wina mengatakan UU itu tidak dipakai lagi karena dianggap Supreme Court atau bertentangan dengan konstitusi Amerika dan kemerdekaan bereskpresi, termasuk kemerdekaan pers.

"Dengan demikian dapat disimpulkan, isi KUHP baru kita, sebenarnya, sudah tertinggal sekitar 200 tahun atau dua abad dibanding perundangan modern lainnya," ucap Wina.

Wina menilai KUHP baru cuma mengganti baju dari KUHP produk penjajah. Namun substansi terkait pasal-pasal demokrasi, lebih buruk dari produk kolonial.

Di sisi lain, Al Araf menyebut paradigma pembuat KUHP masih melindungi kekuasaan. Menurutnya para perumus KUHP baru mencampuradukkan antara hukum administrasi dan hukum pidana.

"Akibatnya banyak pasal, filosofinya tidak jelas, multi tasir," tutur Al Araf.

Al Araf mengatakan hal itu membuat penjelasan-penjelasan yang disampaikan pemerintah dan para pembuat UU tidak menjawab rasionalitas pembentukan banyak pasal-pasal KUHP. Dia mencontohkan ketentuan tentang pasal larangan demonstrasi tanpa izin dan merusak fasilitas publik atau menggangu kepentingan umum.

"Seharusnya yang dilarang merusak fasilitas publik atau mengggangu kepentingan umumnya, bukan larangan demonstrasi yang tanpa izin," katanya.

Dia menyanyangkan proses pembuatan KUHP hanya melibatkan ahli hukum. Apalagi, lanjut dia, hanya dari hukum pidana yang berkecenderungan menghukum saja.

"Padahal karena pidana melibatkan kepentingan publik, seharusnya juga melibatkan ahli-ahli hukum di luar hukum pidana, bahkan ahli lain seperti ahli filasat dan sosiologi," kata dia.

(idn/dhn)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads