Jubir sosialisasi KUHP Albert Aries menyebut Pasal 256 KUHP baru bukan untuk mengancam demonstrasi para mahasiswa. Namun untuk menyeimbangkan antara hak asasi menyuarakan pendapat dan hak asasi pemakai jalan.
Pasal 256 yang dimaksud berbunyi:
Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak
kategori II.
"Kami dapat memahami sikap penolakan teman-teman mahasiswa atas Pasal 256 KUHP mengenai Tindak Pidana Unjuk Rasa Tanpa Pemberitahuan. Mungkin karena ada persepsi yang masih perlu disamakan, dan bagaimana teknis pemberitahuan unjuk rasa itu diatur nanti dalam peraturan Kapolri, sebagaimana Pasal 10 UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum," kata Albert Aries kepada wartawan, Jumat (16/12/2022).
Albert Aries menyatakan penjelasan sederhana itu sudah pernah disampaikan kepada pihak mahasiswa dalam salah satu sosialisasi KUHP. Bahwa pengaturan Pasal 256 KUHP ini bukanlah 'izin' untuk demonstrasi, melainkan agar rencana demonstrasi atau unjuk rasa tersebut 'diberitahukan' dahulu kepada pihak yang berwajib.
"Tujuannya agar dapat dimitigasi dan diantisipasi, misalnya untuk pengalihan rute jalan agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat," ucap Albert Aries.
Baca juga: Demo Tolak KUHP di Bandung Berakhir Ricuh |
Albert Aries menegaskan, kalau rencana demonstrasi sudah disampaikan kepada pihak yang berwajib, sekalipun akibat berupa terganggunya kepentingan umum, terjadinya keonaran atau huru-hara telah terjadi, pelaku unjuk rasa tidak akan dapat dipidana.
"Pasal 256 KUHP ini diatur untuk memberikan keseimbangan antara hak asasi masyarakat/mahasiswa untuk berunjuk rasa (demo), sekaligus kewajiban asasi untuk menghormati hak asasi orang dalam menggunakan jalan atau fasilitas umum lainnya secara tertib," ungkap Albert Aries.
Meski merupakan hak yang dijamin konstitusi dan UU, kata Albert Aries lagi, ternyata ada beberapa unjuk rasa yang berpotensi merugikan masyarakat lain. Misalnya adanya insiden ambulans yang membawa pasien kritis terjebak macet karena unjuk rasa.
"Oleh karena itu, unjuk rasa, khususnya di kota-kota yang padat arus lalu lintasnya, perlu diberitahukan lebih dahulu untuk dapat dimitigasi," ujar Albert Aries.
Apabila dibandingkan dengan ketentuan serupa dalam Pasal 510 KUHP, pengaturan Pasal 256 KUHP baru ini disertai alternatif sanksi berupa denda. Sehingga tidak melulu pelakunya harus dipenjara. Bahkan pengenaan sanksi pidana denda tersebut juga disesuaikan dengan kemampuan ekonomi pelaku sebagai keunggulan KUHP sebagai hukum pidana modern.
"Di sinilah letak perwujudan misi dekolonisasi dan demokratisasi dalam Pasal 256 KUHP. Sebab Pasal 16 UU No. 9 Tahun 1998 juga menyatakan bahwa pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan 'perbuatan melanggar hukum' yang dapat dimaknai secara luas misalnya tidak memberitahu rencana aksi, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," beber Albert Aries.
"Kepada teman-teman mahasiswa, dipastikan tidak perlu khawatir akan pengaturan Pasal 256 KUHP, hak mahasiswa untuk melakukan aksi unjuk rasa tetap dijamin penuh oleh konstitusi dan UU, sepanjang rencananya telah diberitahu kepada pihak yang berwajib agar ketertiban umum terlindungi," pungkasnya.
(asp/dnu)