Rencana DPR RI akan segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebelum 15 Desember 2022 dikecam oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Sebabnya, RKUHP dinilai belum memenuhi hak asasi manusia (HAM).
"Masyarakat sipil mengecam disepakatinya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh pemerintah dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di pembahasan tingkat 1 pada 24 November 2022. Kami memandang, proses perumusan RKUHP tidak memenuhi aspek-aspek partisipasi bermakna dan belum memenuhi standar-standar hak asasi manusia (HAM)," kata Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangannya, Jumat (25/11/2022).
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Amnesty International Indonesia, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Sindikasi, dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koalisi ini menilai pemerintah dan DPR RI gagal menjalankan kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak setiap orang untuk terlibat dalam urusan-urusan publik. Koalisi menyinggung pimpinan Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto yang menyatakan bahwa para perwakilan masyarakat sipil yang hadir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) 14 November 2022 tidak memiliki hak untuk menuntut anggota DPR RI menjelaskan mengapa aspirasi masyarakat tidak diakomodasi.
"Pengesahan RKUHP yang tergesa-gesa merupakan salah satu indikasi kegagalan pemerintah dan DPR RI menegakkan hak masyarakat untuk terlibat dalam urusan-urusan publik. Pasalnya, di tengah kritik keras dari berbagai kelompok masyarakat atas berbagai isu di RKUHP, pemerintah dan DPR RI tetap mengesahkan peraturan ini, tanpa mengakomodasi masukan-masukan dari masyarakat sipil secara memadai," ujarnya.
Selain itu, pemerintah dan DPR dinilai tutup mata akan korban dan peristiwa pembungkaman kebebasan berekspresi yang dalam beberapa tahun belakangan terjadi, termasuk di dalamnya terhadap jurnalis, akademisi, pembela hak lingkungan, masyarakat adat, dan masyarakat secara luas.
Sebagai negara pihak Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), pemerintah dan DPR RI dinilai wajib menegakkan hak berpartisipasi dalam urusan-urusan publik sesuai dengan Pasal 25 ICCPR, Komentar Umum 25 Tahun 1996, dan Panduan PBB untuk Negara-Negara tentang Implementasi yang Efektif atas Hak atas Keterlibatan dalam Urusan-Urusan Publik.
"Pejabat negara, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, wajib memberikan informasi tentang proses pengambilan keputusan, memampukan masyarakat untuk terlibat secara aktif sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan yang maksimal, seperti dengan memberikan, meninjau, dan mengutarakan pendapat tentang rancangan dan pemutakhiran sebuah kebijakan, dan membangun sistem pengumpulan, analisa, akomodasi, penghapusan, dan pengarsipan masukan yang transparan," ucapnya.
Koalisi Masyarakat sipil juga menilai isi RKUHP masih bermasalah karena pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi masih dipertahankan. Koalisi menyinggung pasal makar hingga penghinaan lembaga negara.
"Misalnya, pasal-pasal tentang tindak pidana makar dapat membungkam kritik dan unjuk rasa damai. Tidak hanya itu, orang-orang yang terjerat pasal-pasal makar juga dapat dihukum secara berlebihan, misalnya dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup. Potensi pembungkaman lainnya dapat berasal dari pasal-pasal tentang penghinaan, penghinaan terhadap lembaga negara, dan penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, pesta, dan keramaian tanpa pemberitahuan atau izin," imbuhnya.
Atas dasar-dasar di atas, Koalisi Masyarakat Sipil menuntut agar pemerintah dan DPR RI:
1. Menunda pengesahan RKUHP sampai pasal-pasal yang berpotensi mengancam hak asasi dicabut
2. Menelaah kembali duplikasi pasal di dalam RKUHP dan menyesuaikannya dengan aturan hukum lain yang berlaku
3. Menghormati dan menjamin hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan publik
4. Memastikan pembungkaman kritik terhadap pengesahan dan substansi RKUHP tidak terjadi
5. Menghapus pasal-Pasal terkait Tindak Pidana Khusus seperti Tindak Pidana Narkotika, Tindak Pidana yang Berat Terhadap Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Lingkungan dari RKUHP
Simak juga 'Penyelesaian RKUHP Terganjal Pasal yang Belum Tersinkronisasi':