Pemilu dengan sistem proporsional terbuka digugat sejumlah kader parpol ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta Pemilu 2024 menggunakan proporsional tertutup karena proporsional terbuka banyak cela dan celahnya.
"Pemohon selaku pengurus parpol, berlakunya norma pasal a quo berupa sistem proporsional berbasis suara terbanyak ini telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya modal 'populer dan menjual diri' tanpa ikatan dengan ideologi dan struktur parpol," kata pemohon dalam salinan permohonan yang dilansir website MK, Kamis (17/11/2022).
Pemohon itu adalah:
1. Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo)
2. Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem)
3. Fahrurrozi (bacaleg 2024)
4. Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel)
5. Riyanto (warga Pekalongan)
6. Nono Marijono (warga Depok)
"Tidak memiliki ikatan dengan ideologi dan struktur parpol, tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi parpol atau organisasi berbasis sosial politik," tambah alasan pemohon menguraikan kekurangan proporsional terbuka.
Akibat sistem proporsional terbuka, saat menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah mewakili organisasi parpol. Namun aslinya mewakili dirinya sendiri.
"Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasai dan pembinaan ideologi partai," ucapnya.
Alasan lainnya, proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas. Yakni menempatkan kemenangan individual yang total dalam pemilu.
"Padahal seharusnya kompetisi terjadi antar parpol di arena pemilu sebab peserta pemilu adalah parpol, bukan individu sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945," bebernya.
Oleh sebab itu, pemohon meminta MK untuk:
1. Menyatakan frase 'terbuka' pada Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
2. Menyatakan frase 'proporsional' Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sistem proporsional tertutup.
Baca juga: Melampaui Politik Pencitraan |
Untuk diketahui, diskusi pemilu proporsional tertutup mengemuka bulan-bulan terakhir. Awalnya dibuka oleh Menko Polhukam Mahfud MD dalam acara di PDI Perjuangan. Mahfud menyebut nantinya PDIP akan mengusulkan pemilu proporsional tertutup.
"Pertama saya ingin menyampaikan dukungan kepada pihak penyelenggara PDIP yang sama-sama salah satunya nanti agar pilkada, eh pemilu itu kembali ke proporsional tertutup," ujar Mahfud di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis (13/10/2022).
Mahfud mendengar bahwa banyak pihak menyalahkan MK karena sistem proporsional terbuka yang memutus Mahfud saat menjadi Ketua MK.
"Tapi sebenernya MK itu tidak memutus sistem proposional terbuka, MK itu hanya mencoret frasa di situ disebut bahwa yang menjadi anggota DPR terpilih itu adalah mereka yang mendapat suara terbanyak di atas 35%," ujarnya.
Secara pribadi, Ketua KPU Hasyim Asyari juga mengaku lebih setuju dengan sistem tersebut.
"Kalau KPU ditanya, ya pilih proposional tertutup karena desain surat suaranya cuma 1 berlaku di semua dapil. Bukannya KPU mengusulkan ini enggak ya, tapi kalau ditanya di antara pilihan itu ya pilih proposional tertutup karena desain surat suaranya lebih simpel," ujar Hasyim di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Jumat (14/10/2022).
Adapun Anggota Komisi II DPR dari PKS, Mardani Ali Sera setuju dengan wacana tersebut.
"Demokrasi untuk kemajuan rakyat, untuk maju perlu orang berkapasitas dan berintegritas. Bukan sekedar popularitas. Proporsional tertutup membuat proses pemilu jadi sederhana. Dan berpeluang menurunkan biaya. Bagus tapi perlu diikuti dengan merit sistem dan kontestasi di Internal partai. Semua ada baik, dan buruknya," kata Mardani saat dihubungi, Kamis (13/11/2022).
(asp/zap)