Jaksa mengungkap awal mula Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) bisa mengelola uang dari Boeing yang ditujukan untuk korban Lion Air 610. Jaksa menyebut ACT ditunjuk perusahaan Boeing menjadi lembaga yang akan mengelola dana sosial atau (Boeing Community Investment Fund).
Hal itu diungkap jaksa saat membacakan surat dakwaan mantan Presiden ACT Ahyudin dalam perkara penggelapan dana donasi Boeing untuk ahli waris korban Lion Air 610 di PN Jaksel, Selasa (15/11/2022).
Mulanya, jaksa menjabarkan, pada 29 Oktober 2018, terjadi insiden pesawat jatuh, yakni Lion Air dengan nomor penerbangan 610 setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Kejadian tersebut mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahwa pada tanggal 29 Oktober 2018, maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan 610, dengan pesawat Boeing 737 Max 8, telah jatuh setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Indonesia. Kejadian tersebut mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia," ungkap jaksa.
Atas insiden itu, The Boeing Company atau Boeing menyediakan dana sebesar USD 25 juta melalui Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) untuk keluarga atau ahli waris korban kecelakaan Lion Air 610. Selain itu, Boeing memberikan dana sebesar USD 25 juta sebagai Boeing Community Investment Fund (BCIF) yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terkena dampak dari kecelakaan.
"Di mana dana tersebut tidak langsung diterima oleh para ahli waris korban, namun diterima oleh organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban," lanjut jaksa.
Boeing kemudian menyerahkan proses dana itu kepada administrator dari BCIF bernama Feinberg dan Biros. Mereka berdua ditunjuk untuk menentukan badan amal yang akan didanai dengan uang yang diberikan Boeing untuk BCIF itu.
"Terkait hal tersebut, Boeing telah mendelegasikan kewenangan kepada Administrator dari BCIF, yaitu Mr Feinberg dan Ms Biros untuk menentukan program individual, proyek, atau badan amal yang akan didanai dengan uang yang diberikan Boeing untuk BCIF dan untuk mengawasi penggunaan dana tersebut agar digunakan dengan benar," ujarnya.
Sejatinya, kata jaksa, Boeing telah menentukan syarat yang harus dipenuhi para penerima dana, di mana uang itu tidak dapat digunakan untuk kepentingan pribadi. Akan tetapi Boeing dalam hal ini tidak menentukan persyaratan untuk memilih atau mengawasi administrasi penggunaan BCIF.
"Boeing telah menentukan persyaratan-persyaratan mendasar yang harus dipenuhi oleh para penerima dana, termasuk kondisi di mana uang tidak dapat digunakan untuk kepentingan pribadi setiap individu, namun Boeing tidak menentukan persyaratan untuk memilih atau mengawasi administrasi penggunaan BCIF," ujarnya.
Tiap ahli waris korban Lion Air 610 mendapat santunan dari Boeing sebesar USD 144.320 atau senilai Rp 2 miliar. Tak hanya itu, ahli waris juga mendapat santunan berupa dana sosial BCIF dari Boeing.
"Bahwa kemudian sebanyak 189 keluarga korban selaku ahli waris telah mendapatkan santunan dari perusahaan Boeing, yaitu masing-masing ahli waris mendapatkan dana sebesar USD 144.320 (seratus empat puluh empat ribu tiga ratus dua puluh dolar Amerika) atau senilai Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah) (kurs Rp 14 ribu), di mana santunan tersebut diterima langsung oleh ahli waris sendiri. Selain itu ahli waris juga mendapatkan dana santunan berupa dana sosial BCIF dari perusahaan Boeing," ungkap jaksa.
Pihak ACT lalu menghubungi keluarga korban dan mengatakan telah ditunjuk dari Boeing untuk menjadi lembaga yang akan mengelola dana sosial/BCIF dari Boeing. Pihak ACT, sebut jaksa, juga meminta keluarga korban merekomendasikan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) kepada pihak perusahaan Boeing.
"Yang mana selanjutnya secara aktif pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menghubungi keluarga korban dan mengatakan bahwa Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) telah mendapatkan amanah (ditunjuk) dari perusahaan Boeing untuk menjadi lembaga yang akan mengelola dana sosial/BCIF dari perusahaan Boeing dan meminta keluarga korban untuk merekomendasikan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) kepada pihak perusahaan Boeing, " tuturnya.
Dalam perjalanannya, ACT meminta pihak keluarga korban menyetujui dana sosial sebesar USD 144.500. Ahyudin dkk mengatakan ke keluarga korban bahwa dana akan digunakan untuk pembangunan fasilitas sosial.
"Selanjutnya, atas petunjuk dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), keluarga korban diminta untuk mengisi formulir yang formatnya didapat dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), kemudian e-mail yang dikirimkan ke pihak perusahaan Boeing atas petunjuk pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di dalam e-mail tersebut disebutkan dengan jelas bahwa dana sosial/BCIF yang diminta untuk dikelola oleh pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah sebesar USD 144.500," ujar jaksa.
"Kemudian keluarga korban diminta pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk menandatangani dan mengisi beberapa dokumen/formulir pengajuan, yang harus dikirim melalui e-mail ke perusahaan Boeing, agar dana sosial/BCIF tersebut dapat dicairkan oleh pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan dapat dikelola oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk pembangunan fasilitas sosial," ungkap jaksa.
Jaksa mengatakan fasilitas sosial itu berupa pembangunan sarana pendidikan yang menggunakan anggaran dana CSR dari perusahaan Boeing yang sejatinya untuk 68 ahli waris korban Lion Air. Namun, setelah dana cair, sebagian uang tersebut tidak digunakan untuk membangun fasilitas seperti yang dijanjikan kepada keluarga korban, tetapi untuk beberapa keperluan ACT, salah satunya untuk membayar gaji dan tunjangan hari raya (THR) karyawan.
Lihat juga video '3 Tersangka Penggelapan Dana ACT Diserahkan ke Kejari Jaksel':
Didakwa Gelapkan Dana Rp 117 M!
Ibnu Khajar didakwa melakukan penggelapan dana donasi. Jaksa menyebut penggelapan yang dilakukan petinggi ACT itu terkait dana donasi dari Boeing untuk keluarga atau ahli waris korban kecelakaan Lion Air 610.
Dalam surat dakwaan, disebutkan bahwa Ibnu Khajar melakukan perbuatan itu bersama-sama dengan mantan Presiden ACT Ahyudin dan Hariyana Hermain (HH), yang disebut sebagai salah satu Pembina ACT dan memiliki jabatan tinggi lain di ACT, termasuk mengurusi keuangan. Tuntutan untuk tiap terdakwa itu dilakukan terpisah.
"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain. Barang tersebut ada dalam kekuasaannya karena ada hubungan kerja atau karena pencahariannya atau karena mendapat upah untuk itu. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa Ibnu Khajar," kata jaksa saat membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/11).
Jaksa mengatakan Ibnu Khajar bersama-sama Ahyudin dan Hariyana telah menggunakan dana Boeing Community Investment Fund (BCIF) sebesar Rp 117,9 miliar di luar peruntukannya. Ibnu Khajar dkk menggunakan uang itu tanpa seizin ahli waris korban Lion Air 610.
"Bahwa terdakwa Ibnu Khajar selaku Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap dan juga menjabat selaku Senior Vice President Partnership Network Department GIP bersama-sama dengan saksi Drs Ahyudin selaku Ketua Presiden Global Islamic Philantrophy serta saksi Hariyana binti Hermain selaku Senior Vice President Operational GIP dan juga selaku Direktur Keuangan Yayasan Aksi Cepat Tanggap telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp 117.982.530.997 di luar dari peruntukannya, yaitu untuk kegiatan di luar implementasi Boeing adalah tanpa seizin dan sepengetahuan ahli waris korban kecelakaan maskapai Lion Air pesawat Boeing 737 Max 8 maupun dari pihak perusahaan Boeing sendiri," ungkap jaksa.
Akibat perbuatannya, Ibnu Khajar didakwa melanggar Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal Pasal 372 KUHP.