Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan perubahan iklim disebabkan oleh pengelolaan lingkungan yang tidak taat prinsip perlindungan yang berkelanjutan. KPK membeberkan dua modus yang kerap diabaikan dalam pembangunan berkelanjutan.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam Konferensi Iklim PBB COP27 di Samr El Shaik, Mesir. Dia menjelaskan soal pelajaran dari kasus yang pernah ditangani KPK.
"Perubahan iklim yang disadari terjadi akibat pengelolaan dan pemanfaatan SDA dan lingkungan secara tidak taat prinsip perlindungan yang sustainable. Pelajaran dari kasus yang ditangani oleh KPK selama ini, modus terabaikannya sustainable development terjadi karena 2 hal, pertama tata kelolanya tidak cukup memenuhi kelayakan syarat dan prosedur sustainable development. Kedua pemenuhan syarat dan prosedurnya 'palsu' karena terdapat indikasi 'suap'," kata Nurul Ghufron di COP27, Samr El Shak, Mesir, seperti dalam keterangan tertulis, Jumat (11/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan kejahatan terhadap lingkungan dan SDA itu merupakan bagian dari konsekuensi rantai bisnis yang merupakan kebutuhan terhadap SDA pangan, energi, dan papan. Dia menilai, selama kebutuhan akan hal tersebut masih cukup tinggi, potensi kejahatan juga bakal sama tinggi.
"Oleh karena itu, perlu membangun pemahaman dan kesepakatan bersama bahwa SDA illegal pasti mengabaikan prinsip perlindungan lingkungan dan jangan lagi diterima. Penegakan hukum terhadap kejahatan SDA ini harus dipahami sama antara 'negara Indonesia' sebagai produsen dengan negara lain yang menerima hasil kejahatan SDA ini, selama pihak negara sebagai konsumen masih menerima hasil kejahatan ini, penegakan hukum demi penegakan hukum akan terus terjadi. Karena itu, KPK mengimbau putus dan setop penerimaan negara lain atas hasil korupsi, illegal logging, illegal mining, dan kejahatan lainnya," jelas dia.
Ghufron mengungkap penegakan hukum selama ini di ranah lingkungan hanya menyasar 'operator' pelaksana di tingkat bawah. Jadi, ketika operator itu tertangkap, operasi kejahatan lingkungan bakal terus dilakukan dengan menggantinya lewat operator baru.
"Sehingga walaupun berhasil ditangkap dan dipenjara, posisi mereka akan digantikan oleh orang lain yang tetap akan melakukan tindak pidana lingkungan lagi," ungkap dia.
Dia menyebut sejatinya subjek yang menjadi penanggung jawab itu tidak hanya operator tersebut. Penegakan hukum juga harus menyasar pihak yang berwenang hingga swasta.
"Subjek yang dipertanggungjawabkan tidak saja 'operator'. Namun menyasar 'pihak yang berwenang memberikan atau penyalah guna perizinan', atau jika dari pihak swasta bisa sampai pada 'beneficial ownership atau pihak penentu' yang mungkin tidak tercantum sebagai pengurus," imbuh Ghufron.
Selain itu, menurut Ghufron, objek kejahatan lingkungan itu bakal menyisir area yang lebih luas. Sebab, suatu izin lingkungan itu berlaku untuk ribuan hektare kawasan.
"Objek atau dampak kejahatannya pasti lebih luas, karena setiap izin bisa terhadap beribu hektare," tambahnya.
Oleh karena itu, dia menyebut KPK selalu berkontribusi dalam mencegah tindak kejahatan lingkungan itu dengan dua cara yang sesuai tata kelola pembangunan berkelanjutan. KPK juga melakukan penindakan terhadap tata kelola SDA yang perizinannya berpotensi tindak pidana korupsi.
"KPK berkontribusi dalam dua hal, pertama dalam pemenuhan tata kelola yang sustainable development yang berkepastian, transparan, akuntabel, dan partisipatif. Prinsip pengelolaan SDA yang demikian diharapkan akan menjamin perlindungan kelestarian fungsi lingkungan," ujarnya.
"Kedua, KPK dalam penindakan terhadap tata kelola SDA biasanya di bidang perizinan yang terindikasi adanya korupsi, korupsi di bidang SDA tentu berbeda karakter dengan instrumen hukum perlindungan lingkungan, perlindungan hutan ataupun hukum pidana lainnya di bidang lingkungan," pungkas Ghufron.
(knv/knv)