Ombudsman Temukan Dugaan Maladministrasi di Kemenkes-BPOM soal Gagal Ginjal

Ombudsman Temukan Dugaan Maladministrasi di Kemenkes-BPOM soal Gagal Ginjal

Mulia Budi - detikNews
Selasa, 25 Okt 2022 15:10 WIB
Jakarta -

Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) melaporkan data terbaru kasus gagal ginjal akut pada anak per 24 Oktober 2022 terdapat 255 kasus, dengan 143 anak di antaranya meninggal dunia. Ombudsman RI menemukan dugaan maladministrasi yang dilakukan Kemenkes RI serta Badan Pengawas Obat dan Minuman (BPOM) terkait penanganan kasus tersebut.

"Dari penggalian informasi dan data sejauh ini, kami kemudian paling tidak pada kesimpulan awal ini, ada dugaan terjadinya potensi maladministrasi di kedua institusi ini," kata pimpinan Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (25/10/2022).

Robert mengatakan dugaan maladministrasi di Kementerian Kesehatan muncul lantaran tidak adanya data pokok sebaran kasus gagal ginjal akut. Menurutnya, hal itu menyebabkan kelalaian pada pencegahan penyebaran kasus tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pertama adalah di Kementerian Kesehatan RI, kami melihat potensi maladministrasinya itu terlihat pada tidak dimilikinya data pokok terkait sebaran penyakit atau epidemiologi dan ini kemudian berakibat pada kelalaian dalam penyebaran atau mitigasi kasus gagal ginjal," ujarnya.

Dia menyebutkan Kemenkes RI melakukan tracking kasus gagal ginjal akut bermula dari data yang diberikan oleh dokter anak Indonesia. Dia menilai data sebaran kasus gagal ginjal yang dimiliki Kemenkes RI sejak Januari itu belum akurat.

ADVERTISEMENT

"Jadi Kementerian Kesehatan sesungguhnya hingga bulan Agustus kemarin masih belum mengerti tentang masalah yang ada, masih belum punya data itu, dan baru kemudian sadar bahwa ini kejadian yang darurat ketika kemudian dokter anak Indonesia itu menyuplai data yang ada, dan atas dasar itulah kemudian baru di-tracking ke belakang sejak kapan kasus ini mulai terjadi dan munculnya tadi adalah jumlah-jumlah yang belum tentu juga akurat. Jadi soal data pokok itu menjadi isu pertama yang merupakan bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan," katanya.

Dia menuturkan dugaan maladministrasi itu juga didasarkan pada Kemenkes RI yang tak bisa memberikan sosialisasi dan informasi yang terbuka kepada masyarakat terkait kasus gagal ginjal akut misterius tersebut. Kemudian, dugaan maladministrasi itu juga didasarkan pada tidak adanya standardisasi pencegahan dan penanganan kasus gagal ginjal tersebut.

"Kemudian kedua adalah kami melihat karena tidak mengertinya masalah yang ada, tidak adanya data yang akurat, maka kemudian Kementerian Kesehatan tidak bisa memberikan informasi dan sosialisasi kepada masyarakat dan dengan demikian juga tidak memiliki keterbukaan dan akuntabilitas atas informasi yang valid dan terpercaya terkait dengan kasus gagal ginjal," ujarnya.

"Kemudian ketiga, potensi maladministrasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan adalah ketiadaan standardisasi pencegahan dan penanganan kasus gagal ginjal, sekaligus ini menyebabkan tidak terpenuhinya standar pelayanan, termasuk pelayanan pada pemeriksaan di laboratorium," lanjutnya.

Kemudian, Robert menjelaskan dugaan maladministrasi yang ditemukan Ombudsman RI pada BPOM. Dia mengatakan BPOM tak maksimal melakukan pengawasan pada produk sebelum diedarkan dan setelah memperoleh izin edar.

"Sementara di Badan POM kami melihat bahwa kelalaian yang terjadi pada Badan POM itu terlihat pada pengawasan, baik pada pre-market atau proses sebelum obat didistribusikan atau diedarkan dan post-market control, ini terkait dengan pengawasan setelah produk beredar. Nah bentuk-bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh badan POM adalah pertama Ombudsman melihat bahwa badan POM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi," ujarnya.

Dia menilai BPOM terkesan bersikap pasif menunggu laporan dari perusahaan farmasi. Menurutnya, uji produk harus dilakukan oleh Badan POM, bukan perusahaan farmasi.

"Yang kami temukan mekanismenya itu justru adalah uji mandiri dilakukan oleh perusahaan farmasi dan baru kemudian mereka melaporkan kepada badan POM. Jadi badan POM terkesan pasif, menunggu munculnya laporan yang disampaikan. Yang kami minta sesungguhnya adalah kontrol itu harus dilakukan secara aktif bahkan pada tingkat tertentu diambil sampling atau random di mana Badan POM yang melakukan uji atas produk yang dihasilkan perusahaan. Jadi jangan pernah kemudian kewenangan negara itu diberikan sepenuhnya kepada pasar kepada perusahaan farmasi," ujarnya.

Simak selengkapnya pada halaman berikutnya.

Dia mengatakan dugaan maladministrasi di BPOM juga muncul lantaran adanya produk yang memiliki kandungan senyawa melewati ambang batas. Ombudsman RI menilai BPOM tak maksimal melakukan verifikasi dan validasi produk sebelum penerbitan izin edar.

"Kemudian yang kedua adalah masih di pre-market, maladministrasi yang kita lihat adalah kesenjangan antara standardisasi yang diatur oleh Badan POM dengan implementasi di lapangan, di mana terjadi pelampauan ambang batas atas kandungan senyawa yang ada dalam produk yang dikeluarkan oleh perusahaan. Standardisasinya itu, itu tidak kemudian terjaga dengan baik oleh para produsen atau perusahaan-perusahaan farmasi dan Badan POM tampaknya juga tidak melakukan kontrol yang ketat dan efektif atas pelampauan atau yang melebihi standar atau ambang batas kandungan senyawa berbahaya yang ada pada produk-produk mereka," terangnya.

"Kemudian yang ketiga, maladministrasi yang kita lihat adalah tidak maksimalnya verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar. Ini pada pre-market," tambahnya.

Dia menuturkan Ombudsman RI juga menilai dugaan maladministrasi itu muncul setelah produk beredar. Menurut dia, BPOM tak melakukan evaluasi berkala terhadap produk yang telah beredar.

"Sementara post-market control atau pengawasan setelah produk beredar, kami melihat bahwa pemberian izin pasca edar obat atau produk yang ada, itu juga belum maksimal dan kemudian tidak diikuti dengan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar maupun terhadap konsistensi mutu kandungan produk yang beredar. Ini kami lihat masih lemah terjadi pada Badan POM," ucapnya.

Pertanyakan Akurasi Data dari Januari

Robert menilai kasus gagal ginjal akut misterius dengan korban jiwa 143 anak merupakan bentuk gagalnya negara memberikan perlindungan jaminan keselamatan. Robert menyebut kondisi itu sebagai bentuk negara belum hadir secara efektif dalam pemberian jaminan keselamatan.

"Bagi Ombudsman pertama ini dilihat sebagai gagalnya negara dalam memberikan perlindungan, atau tidak hadir secara efektif dalam memberikan perlindungan berupa jaminan keselamatan rakyat," katanya.

Robert mengatakan kesimpulan penyebab gagal ginjal akut itu belum diketahui meski disebut sudah ada titik terang. Dia menyebut pemerintah harus melakukan sejumlah langkah upaya terkait obat sirup yang diduga menjadi penyebab gagal ginjal tersebut.

"Terlepas dari hingga hari ini kita masih belum punya kesimpulan yang definitif yang konklusif terkait dengan penyebabnya. Tetapi melihat berbagai perkembangan belakangan termasuk kumparasi kasus yang kurang lebih sama dengan negara-negara lain yang juga mengalami hal yang sama, rasa-rasanya kita sudah bisa melihat titik terang penyebab yang ada dan atas itu mestinya kemudian pemerintah sudah mengambil langkah-langkah yang luar biasa ya menghadapi situasi darurat kesehatan khususnya pada kasus terkait dengan obat sirup yang mengancam gagal ginjal akut pada anak-anak khususnya yang berusia 5 tahun ke bawah," tuturnya.

Dia mengatakan data gagal ginjal akut sejak bulan Januari yang dilaporkan Kemenkes RI juga patut dipertanyakan. Menurutnya hal itu lantaran data gagal ginjal bulan Januari baru diperoleh pada bulan Agustus.

"Kemudian yang kedua adalah, kalau kita melihat data bapak ibu sekalian, ini kasusnya bukan baru terjadi bulan ini atau bulan kemarin. Data menunjukkan bahwa sesungguhnya kejadiannya itu sudah mulai dari bulan Januari dengan angka yang memang masih kecil, tetapi kami sendiri juga harus sampaikan angka ini sendiri juga patut dipertanyakan. Apakah benar memang di bulan Januari itu hanya ada dua kasus, Februari 0 kasus, dan sebagainya. Karena angka-angka ini baru diperoleh itu bukan di bulan bulan itu, tapi baru diperoleh di bulan Agustus atau September," tuturnya.

"Jadi kejadiannya sudah memuncak baru kemudian pemerintah me-tracking ke belakang, bulan-bulan mana saja kejadian itu pernah ada, pernah terjadi, dan data-data ini, kami kemudian melihat bahwa data-data ini belum tentu merupakan data yang akurat. Kalau dia memang bener tidak akurat maka ini sesungguhnya pemerintah sudah melakukan maladministrasi data. Di mana soal validitas dan akurasi data itu jadi pertanyaan," imbuh Robert.

Dia meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI memberikan data rinci terkait kasus gagal ginjal.

"Maka penting buat kami untuk di slide pertama ini meminta kepada pemerintah untuk bener menghadirkan data yang valid, data yang real, per bulannya, setiap bulan itu berapa," kata Robert.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan RI menyampaikan data terbaru mengenai kasus gagal ginjal akut pada anak. Kasus ini sudah dilaporkan di 26 provinsi.

"Perkembangan kasus gagal ginjal akut per 24 Oktober terdapat 255 kasus,yang meninggal 143 meninggal," kata juru bicara Kemenkes dr Mohammad Syahril dalam konferensi pers, Selasa (25/10).

Tingkat kematian atau fatality rate akibat penyakit ini sekitar 56 persen. Ditegaskan dr Syahril, penambahan 10 kasus dan 2 meninggal ini bukan kasus baru, namun yang terlambat dilaporkan di September.

Halaman 2 dari 2
(lir/lir)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads