"Kami ketemu langsung, ngobrol langsung, ngambil keterangan dsb, didampingi oleh perangkat desa dan teman-teman di desa dan termasuk pak camat, itu tidak ada intimidasi, yang ada adalah kekhawatiran dan ketakutan ketika ada kepolisian tapi tidak ada pendamping. Jadi problem utamanya tidak ada pendamping sehingga mereka khawatir," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, dalam konferensi pers, Senin (24/10/2022).
Lebih lanjut Anam mengatakan pihak Devi Athok dan keluarga mengaku menginginkan adanya autopsi asalkan prosesnya baik dan membuatnya nyaman serta turut diawasi Komnas HAM. Tak hanya itu, dia meminta autopsi juga dilakukan oleh tim kedokteran independen. Menurut Anam, sebelumnya rencana autopsi belum terwujud karena pihak keluarga saat itu tidak ada pendamping.
"Walaupun saat ini pertimbangannya rapat keluarga dan mempertimbangkan kondisi orang tuanya yang sudah sepuh, karena proses komunikasi dengan semua pihak kurang berjalan dengan baik, itu menimbulkan kekhawatiran yang mendalam," ujar Anam.
"Kedua, soal pendampingan juga harus diberesin biar tidak merasa sendirian. Ketiga, yang paling penting dalam proses autopsinya melibatkan dokter independen. Jadi tidak dokter dari kepolisian. Itu yang diobrolkan oleh Pak Athok kepada kami," katanya.
Autopsi Dibatalkan
Sebelumnya, pembatalan autopsi dua jenazah korban Tragedi Kanjuruhan menarik perhatian Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF). Mereka pun mendatangi rumah keluarga korban untuk mengklarifikasi adanya dugaan intimidasi dari polisi.
Sebelumnya, Devi Athok (43), warga Bululawang, Kabupaten Malang, mengajukan autopsi bagi dua jenazah putrinya, yakni Natasya Deby Ramadhani (16) dan Nayla Deby Anggraeni (13).
Namun, rencana autopsi yang sedianya digelar pada Kamis (20/10/2022) mendadak batal setelah Athok mencabut pengajuan autopsi bagi kedua jenazah putrinya. Pencabutan diputuskan setelah Athok merasa berjuang sendiri tanpa dukungan dari pihak mana pun.
Di tengah itu, mengemuka adanya dugaan intimidasi hingga membuat Athok takut dan akhirnya mengurungkan niat. TGIPF yang mendengar informasi tersebut kemudian mendatangi Athok, pada 19 Oktober malam.
Perwakilan TGIPF dari Kemenko Polhukam, Irjen Armed Wijaya, mengatakan, dalam laporan atau klarifikasi yang diterimanya, pembatalan autopsi ternyata bukan karena adanya intimidasi. Tetapi permohonan autopsi tak mendapat restu dari nenek korban.
"Dipastikan tidak ada intimidasi dari aparat. Namun lebih kepada tidak direstui oleh nenek korban yang keberatan bila dilakukan gali kubur," kata Wijaya, Kamis (20/10/2022).
Ia juga membantah adanya intervensi yang dilakukan aparat kepolisian. "Saya sudah menggali informasi. Alhamdulillah ternyata informasi itu tidak benar (adanya intervensi atau intimidasi)," ujar Wijaya. (yld/dhn)