Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritisi Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Menurutnya, ada beberapa poin yang harus dievaluasi pada muatan PMA tersebut.
Adapun poin yang menjadi sorotannya adalah tidak dimasukkan nilai agama dalam konsideran dan pencegahan kekerasan seksual, serta penyebutan satuan pendidikan agama secara diskriminatif. Menurut HNW, ini menjadi tidak adi; karena hanya menyebut jenis pendidikan Agama Islam yaitu, madrasah dan pesantren. Padahal, Kemenag juga membawahi jenis lembaga pendidikan dari semua agama yang diakui di Indonesia.
"Kemenag, sesuai namanya seharusnya memasukkan aspek nilai-nilai agama dalam upaya mencegah kekerasan seksual di satuan pendidikan keagamaan. Karena dalam Agama Islam termasuk Fiqhnya, misalnya, banyak sekali ajaran-ajaran dan kaidah yang preventif untuk penghindaran dan pencegahan terhadap kekerasan maupun kejahatan seksual. Kemenag, sesuai namanya dan komitmennya, juga tidak boleh diskriminatif dengan hanya menyebutkan satuan pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren, dengan tidak menyebutkan satuan pendidikan keagamaan lainnya," ujar HNW dalam keterangannya, Rabu (19/10/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemenag seharusnya menjadikan PMA itu untuk semua satuan pendidikan keagamaan secara definitif. Karena para murid dari berbagai sekolah keagamaan di luar Islam pun juga berhak mendapatkan keadilan dan kesetaraan perlakuan dan perlindungan Negara dari kekerasan dan kejahatan seksual," imbuhnya.
Diketahui, PMA 73/2022 berisi 20 pasal yang mengatur definisi, bentuk, hingga penindakan kekerasan seksual di lingkup pendidikan keagamaan. PMA ini menjadikan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai salah satu dasar hukumnya. Namun, HNW menilai ada perbedaan pendekatan yang fundamental antara PMA 73/2022 dengan UU 12/2022. Hal itu jelas terlihat dimulai Pasal 1 mengenai definisi.
"Penggunaan definisi dalam PMA yang menjabarkan berbagai bentuk kekerasan seksual tidak sesuai dengan UU 12/2022 yang membatasi pada aspek unsur tindak pidana. Jika dirujuk kepada pembahasan akhir UU 12/2022, disepakati bahwa yang menjadi fokus adalah tindak pidana kekerasan seksual, bukan kepada bentuk daripada kekerasan seksual tersebut," kata HNW.
Menurut HNW, hal ini menyebabkan PMA 73/2022 terkesan kebablasan dalam mendefinisikan bentuk-bentuk kekerasan seksual. PMA 73/2022 dinilai tanpa memiliki dasar hukum maupun sandaran teoritis yang jelas.
Lebih lanjut, ia menjelaskan pendekatan tersebut sudah pernah digunakan di Permendikbudristek 30/2021 tentang Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Tapi pada akhirnya menuai kontroversi di tengah masyarakat.
"Oleh karena itu kemudian pendekatan di UU 12/2022 menggunakan pendekatan tindak pidana. PMA 73/2022 seharusnya juga menggunakan pendekatan yang sama, bukan justru eksplorasi sendiri tanpa ada dasar argumennya," ucapnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya. Langsung klik
"Hal ini tentu rawan menjadi bentuk kriminalisasi terhadap civitas akademika di lingkungan pendidikan keagamaan. Seharusnya dibuat mekanisme penindakan yang lebih berkeadilan baik bagi pelapor maupun terlapor, sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," ujar HNW.
HNW mengatakan selain civitas orang per orang, satuan pendidikan itu sendiri juga rawan terkena kriminalisasi. Sebab di Pasal 19 disebutkan bahwa satuan pendidikan yang tidak melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual bisa dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan tanda daftar Satuan Pendidikan.
Ia mempertanyakan sejauh apa batasan melakukan dan tidak melakukan upaya tersebut. Di mana jika misalnya ada oknum pelaku kekerasan seksual yang sudah diproses hukum, apakah satuan pendidikannya bisa dianggap tidak melakukan upaya pencegahan kekerasan seksual.
"Dengan berbagai temuan tersebut, dan agar tujuan PMA untuk atasi kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan lebih dapat diwujudkan, sebaiknya Menteri Agama segera merevisi PMA 73/2022 itu dengan mempertimbangkan berbagai masukan dan kritik. Kemenag juga harus membuka lebih luas diskusi dengan para pakar, tokoh Agama-agama, pimpinan ormas-ormas keagamaan, dan perwakilan Satuan Pendidikan Keagamaan, sebelum akhirnya menetapkan kembali PMA mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang lebih baik dan tidak diskriminatif," kata HNW.
"Agar kekerasan atau kejahatan seksual di lembaga pendidikan keagamaan dalam berbagai jenisnya, dapat dikoreksi, agar selamatlah anak-anak peserta didik di berbagai lembaga pendidikan keagamaan dari latar belakang agama apa pun, dari kekerasan dan kejahatan seksual yang bisa terjadi di lembaga pendidikan keagamaan apa pun," pungkasnya.