Pada salah satu sudut gang di Jalan Kamboja, Parung, Bogor selalu terdengar keriuhan di pagi hari. Nada-nada gembira itu keluar dari suara anak-anak yang bersenandung. Biasanya, tidak lama setelahnya, keramaian berganti dengan suara anak bersahut-sahutan menimpali dongeng yang tengah dibacakan gurunya.
Hiruk-pikuk itu berasal dari kegiatan di Taman Pendidikan Usia Dini (PAUD) Nurul Qalbu. Terletak di Desa Sajah, Kecamatan Parung, Bogor, ada cerita unik yang melatarbelakangi berdirinya institusi berdikari ini. Dimulai dari sebuah perpustakaan kecil gagasan penjual jamu keliling, kini PAUD Nurul Qalbu berkembang menjadi wadah bagi anak-anak untuk menjarah ilmu dengan penuh antusias.
Penjual jamu itu Bernama Kiswanti. Semasa kecil, ia adalah gadis yang haus akan ilmu pengetahuan. Ia senang mendapati dirinya hanyut dalam lembaran-lembaran buku, karena hanya dengan buku, ia bisa keluar dari kehidupannya yang sederhana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berasal dari keluarga kurang mampu yang tinggal di Bantul, Yogyakarta, orang tua Kiswanti tak bisa menyekolahkannya seperti anak-anak lain. Namun, keinginan Kiswanti menuntut ilmu begitu besar, sehingga dia mencari cara untuk ikut belajar. Ia mengintip ke ruang kelas teman-temannya saat mereka bersekolah.
Suatu waktu, aksi Kiswanti ketahuan oleh guru yang sedang mengajar. Untungnya, guru itu tidak menghukum, melainkan memberi kesempatan Kiswanti untuk ikut bersekolah secara cuma-cuma. Syaratnya, ia harus membantu di perpustakaan sekolah.
"Nah di situ, wah ini surganya saya. Karena selama ini saya ingin pinjam buku nggak bisa Kak, karena menjadi anggota perpustakaan itu harus membayar 2.500 rupiah. Nah orang tua kami nggak bisa bayar saat itu," kenang Kiswanti dalam program Sosok detikcom (16/10/22).
Kiswanti menemukan sepenggal surganya di sekolah. Meski demikian, di sana ia sering dirundung. Kemiskinannya menjadi bahan perundungan. Oleh teman-temannya, Kiswanti pernah ditusuk dengan jeruji sepeda, rambutnya diikat ke kursi, hingga dilekatkan getah nangka.
"Semoga saya nggak nangis ya, Kak. Waktu itu rambut saya panjang, Kak. Rambut saya diikat sama kursi belakang, begitu saya bangun, terpelanting. Kadang rambut saya diberi getah nangka. Saya pernah ditusuk dengan jeruji sampai pendarahan dan dirawat di rumah sakit," terang Kiswanti.
"Itulah yang saya terima karena kemiskinan," lanjutnya nanar.
Kiswanti bertahan, hingga akhirnya ia berhasil mengantongi ijazah SD. Namun, kemiskinan menariknya kembali pada realita. Biaya yang tinggi menjadi kendala bagi Kiswanti untuk mengejar cita-citanya.
Ia terpaksa harus menerima keadaan. Pada tahun 1987, Kiswanti memilih bekerja di Jakarta sebagai asisten rumah tangga selama beberapa bulan. Namun, kecintaannya pada buku dan ilmu pengetahuan tak kunjung sirna. Hal ini dibuktikan dengan koleksi bukunya yang tetap bertambah.
Beli jamu dapat buku, halaman selanjutnya.
Sejak saat itu, Kiswanti bertekad agar tak ada anak-anak yang mengalami hal sama dengannya. Ia bercita-cita membuka perpustakaan gratis dan membantu anak-anak melanjutkan sekolah.
Pada tahun 1993, Kiswanti pindah ke Kecamatan Parung, Bogor. Kiswanti melihat kurangnya akses pendidikan untuk anak-anak Parung. Tak hanya itu, menurut Kiswanti, banyak anak-anak yang berbahasa kurang santun dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
Hati Kiswanti tergerak. Ia sering memberi makan pada anak-anak itu sambil membacakan buku-buku pribadinya. Kiswanti ingin membagikan sedikit ilmu yang ia punya.
Empat tahun lamanya Kiswanti turut 'merawat' anak-anak Parung. Namun, selama itu terdapat banyak keraguan dalam pikiran Kiswanti. Latar belakang pendidikannya yang tidak terlalu tinggi sempat membuat Kiswanti tidak percaya diri dalam mendidik anak-anak yang sering berkunjung ke rumahnya.
"Karena yang ada di imajinasi saya kalau saya membuat seperti ini saya hanya lulusan SD, saya hanya menjadi pembantu, kok mendidik anak? Apa kata mereka. Khawatir nanti saya dikira menyalahgunakan," kata Kiswanti.
Kiswanti berusaha menguatkan diri dan keluarga kecilnya. Tekad untuk mendirikan perpustakaan semakin bulat. Ia yakin, niat baiknya ini akan berbuah manis.
Pada tahun 1997, Kiswanti yang saat itu berprofesi sebagai penjual jamu keliling mengajukan izin ke RT/RW setempat untuk mendirikan perpustakaan. Perpustakaan yang dimaksud belum berbentuk bangunan, melainkan perpustakaan keliling yang ia bawa sambil menjajakan jamu-jamunya. Perpustakaan itu kemudian ia beri nama Warung Baca Anak Lebak Wangi atau disingkat sebagai Warabal.
"Jamu-jamu, buku-buku. Yang mau sehat minum jamu, yang mau pintar baca buku. Jangan rugi membeli jamu saya karena uangnya untuk beli buku dan buku itu untuk anda," demikian Kiswanti biasa menawarkan perpustakaan kelilingnya pada saat itu.
Seiring berjalannya waktu, koleksi buku Warabal sudah berjumlah 1500 eksemplar. Buku-buku itu adalah koleksi pribadi Kiswanti. Ia mendapatkannya, Kiswanti harus rajin berburu dari kios-kios buku bekas. Tidak jarang,ia harus merelakan biaya hidupnya sehari-hari untuk disisihkan demi menambah koleksi bukunya.
"Dulu, saya bersedia melaparkan diri. Setiap bulan di 10 hari pertama saya melaparkan diri. Dari sebelum subuh saya tidak makan hingga menjelang maghrib. Dari tidak makan saya itu saya menyisihkan uang tiga ribu rupiah, selama satu tahun kami bisa mengumpulkan uang 360 ribu. 360 ribu tadi kami akan ajak anak-anak yang selama ini punya perilaku baik untuk kami ajak ke toko buku. Mereka bebas memilih buku yang dia suka, dia bebas membaca dan nanti setelah selesai baru diletakkan untuk menambah koleksi di Warabal," terang Kiswanti.
25 tahun hasil perjuangan Kiswanti, halaman selanjutnya.
Kini, koleksi buku di Warabal telah mencapai sekitar enam ribu eksemplar. Enam puluh persen dari buku-buku itu adalah koleksi pribadi Kiswanti, dan sisanya adalah dari donasi.
Geliat Warabal tak berhenti di perpustakaan saja. Sejak tahun 2004, Warabal juga merambah ke kegiatan pendidikan anak usia dini (PAUD), pendampingan belajar di akhir pekan, taman pendidikan Alquran (TPQ), majelis ta'lim untuk ibu-ibu, serta paguyuban unit bersama simpan pinjam. Semua tak lepas dari cita-cita Kiswanti untuk menebar kebaikan sebanyak-banyaknya lewat Warabal, dan menjadikannya sebagai titik kumpul kegiatan warga sekitar.
Dua Puluh Lima tahun Warabal berdiri, kini keanggotaan perpustakaan Warabal telah mencapai lebih dari 5000 anggota. Sedangkan jumlah siswa PAUD Nurul Qalbu ada 97 orang, siswa TPQ sebanyak 65 orang, pendampingan belajar akhir pekan sebanyak 75 orang, dan paguyuban unit bersama simpan pinjam sebanyak 83 orang.
Perjalanan Kiswanti mendirikan Warabal memang tidak singkat. Butuh puluhan tahun lamanya untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat sekitar serta melakukan perubahan demi kemajuan bersama. Namun Kiswanti masih punya banyak rencana untuk Warabal.
"Ini cita-cita saya dari tahun 1972, waktu saya kelas 3 SD. Saya bercita-cita ingin membuat perpustakaan gratis dan karena saya bercita-cita dan cita-cita itu sudah tercapai, saya tidak boleh mengeluh," kata Kiswanti.
"Insya Allah Kak, selagi saya masih diberi kesehatan, saya ingin mendedikasikan hidup saya selain untuk keluarga juga untuk Warabal ini khususnya," tutupnya.