Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom MTh, merespons dugaan diskriminasi agama yang terjadi di SMAN 2 Depok. Dia mendorong Dinas Pendidikan Pemprov Jawa Barat bertindak tegas.
Awalnya, dugaan diskriminasi terhadap kegiatan kerohanian siswa-siswi Kristiani di SMAN 2 Depok ramai di media sosial. Dalam foto yang beredar, tampak siswa-siswi yang sedang melakukan kegiatan kerohanian di lorong sekolah dengan duduk di lantai.
Para siswa disebut tidak mendapatkan tempat untuk kerohanian Kristen. Pendeta Gomar Gultom menyayangkan perlakuan diskriminatif ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya sangat menyayangkan terjadinya perlakukan yang sangat diskriminatif terhadap siswa-siswi beragama Kristen di SMA Negeri 2 Depok, yang sedang ramai diperbincangkan di jagat maya beberapa hari terakhir ini. Saatnya Dinas Pendidikan Jawa Barat mengambil tindakan tegas kepada staf sekolah ini, yang bahkan berniat membubarkan Rohkris hanya karena meminta izin untuk menggunakan ruangan dalam rangka pembinaan rohani mereka dalam konteks ekstrakurikuler," ujar Gomar kepada wartawan, Jumat (7/10/2022).
Dia juga meminta agar kepala sekolah ditindak. Pasalnya, menurut informasi yang ia terima, Kepala SMAN Depok mengancam guru yang memberikan informasi kepada wartawan.
"Hal sama kepada kepala sekolah yang mengancam memindahkan guru-guru yang memberikan informasi tentang perlakuan diskriminatif tersebut kepada wartawan," ungkapnya.
Dia menegaskan bahwa perlakuan diskriminatif ini bertentangan dengan UU Sisdiknas. Dalam UU tersebut, siswa berhak mendapat pembinaan budi pekerti sesuai dengan agama yang mereka anut.
"Perlakuan diskriminatif tersebut sangat bertentangan secara diametral dengan semangat Undang-Undang Sisdiknas yang mengamanatkan perlunya peserta didik menerima pembinaan budi pekerti sesuai dengan agamanya," ujarnya.
Dia mengatakan kejadian ini menambah panjang daftar perlakuan diskriminatif kepada para murid nonmuslim. Tak terkecuali para penganut agama lokal.
"Perlakuan diskriminatif seperti ini menambah daftar panjang dari perlakuan negara yang sangat diskriminatif terhadap siswa-siswi nonmuslim di negara tercinta Indonesia, termasuk penganut agama-agama lokal," tuturnya.
Oleh karena itu, dia mengimbau agar praktik diskriminasi seperti ini dihentikan, semata-mata untuk mencapai masyarakat yang adil dan berbudi luhur.
"Saya mengimbau negara untuk segera menghentikan praktek-praktek diskriminatif seperti ini, demi menggapai masyarakat yang adil, cerdas, dan berbudi pekerti luhur," jelasnya.
Lihat juga video 'Temuan ORI Yogyakarta Terkait Kasus SMAN 1 Banguntapan':
Bagaimana penjelasan SMAN 2 Depok? Baca halaman selanjutnya.
Penjelasan SMAN 2 Depok
Kepala SMAN 2 Depok, Wawan Ridwan, membantah isu tersebut. Wawan menegaskan tidak ada diskriminasi yang dilakukan sekolahnya terhadap siswa kelompok agama tertentu.
"Tidak ada praktik diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu di SMAN 2 Depok. Seluruh aktivitas kegiatan keagamaan di SMAN 2 Depok sudah terfasilitasi dengan baik oleh sekolah," kata Wawan.
Wawan lantas menjelaskan kronologi yang sebenarnya terjadi pada 30 September 2022 itu. Dia menuturkan peristiwa itu bermula saat ruang multiguna yang biasa digunakan siswa Rohani Kristen dalam kondisi berantakan lantaran dipakai untuk meletakkan seragam siswa kelas X.
"Oleh karena itu, untuk kegiatan Doa Pagi (Saat Teduh) bagi siswa-siswi beragama Kristen dipindahkan ke ruang pertemuan lantai 2. Informasi pindahnya ruangan sudah disampaikan oleh pihak sarpras pada hari Kamis ke kepala sekolah, petugas kebersihan (office boy), dan salah satu siswa Rohkris," kata Ridwan dalam keterangannya, Jumat (7/10/2022).
Wawan pun menepis kabar bahwa siswanya tidak diberi ruangan. Dia mengatakan, dalam foto yang beredar itu, para siswa tengah menunggu pintu ruang pertemuan dibuka oleh petugas kebersihan. Sebab, lanjutnya, saat itu petugas kebersihan terlambat untuk membuka pintu ruangan, sementara siswa Rohani Kristen sudah datang.
"Jadi ketika mereka menunggu di lorong ruang pertemuan. Jadi foto yang beredar di media bahwa seakan-akan murid sedang duduk di selasar atau pelataran atau lorong karena tidak diberi ruangan untuk kegiatan, sebetulnya tidak sesuai dengan yang diberitakan," sebutnya.