Jakarta -
Suatu sore, Lukas berjalan-jalan di rumah Koramil (Komando Rayon Militer) di Daerah Gresik jawa Timur seusai memenuhi wajib lapor. Lukas Tumiso atau yang sering dipanggil dengan sebutan Cak So (83) adalah bekas tahanan politik di era Soeharto. Keterlibatannya di Resimen Mahasurya yang pro Soekarno menyebabkan ia ditahan karena dianggap simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1965.
Di dalam komplek Koramil, ia melihat ada banyak anak-anak yang sedang belajar matematika dan mereka terlihat kesulitan. Lukas mendatangi anak-anak tersebut dan memberikan trik untuk menyelesaikan soal-soal yang mereka kerjakan.
Sebagai mantan guru, ia paham benar bagaimana mengolah soal-soal sulit menjadi cepat dipahami. Lukas Tumiso yang sempat belajar di IKIP Surabaya itu menjadi primadona baru di mata anak-anak itu. Tidak hanya itu, Lukas pun langsung mendapat tempat di hati komandan koramil yang melihatnya mengajar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayang, cap PKI yang menempel di dirinya menjadi ganjalan. Tawaran untuk mengajar setiap sore di kantor Koramil dekat tempat tingalnya pun kandas. Statusnya sebagai bekas seorang tahanan politik di akhir tahun 60-an bukanlah sesuatu yang mudah. Profesi guru yang digelutinya sebelum ditahan, sulit untuk kembali diraih.
Berkat bantuan sang komandan, ia mendapatkan surat jaminan keamanan. Dengan surat itu, Lukas menyudahi usahanya sebagai pengusaha bahan bangunan dan kembali mengajar untuk anak-anak tentara.
"Akhirnya saya bisa mengajar. Saya punya truk, saya jual. Jadi keadaan itu bagaimana kita bisa menunggangi," kata Lukas dalam program Sosok, Jumat (30/9).
Gerwani, Gus Dur, dan Tjiptaning. Halaman selanjutnya.
Mulai dari titik ini, kehidupan Lukas membaik. Bisa dikatakan bahwa kehidupan Lukas tak terlalu berkekurangan pasca dibebaskan dari Pulau Buru. Bahkan, ada masa ketika ia sering membantu orang-orang di sekitarnya dalam urusan finansial.
Namun, nasib baik tidak dirasakan oleh semua orang yang terjerat bayang-bayang PKI. Kawan-kawan Lukas yang pernah bergabung di Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) misalnya. Lukas menuturkan, kehidupan mereka banyak yang serba kekurangan.
Pada masa Pemerintahan Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid), para perempuan eks Gerwani itu baru bisa memperoleh celah untuk meminta pertolongan. Dayung bersambut, Gus Dur bersama Dr. Ribka Tjiptaning dan para eks Gerwani memprakarsai Panti Jompo Waluya Sejati Abadi di tahun 2004. Tempat ini nantinya akan menjadi rumah bernaung bagi orang-orang yang terlibat PKI.
"Waktu itu yang mendaftar banyak sekali. Tapi panti jompo ini untuk orang PKI, jadi mereka, 'Oh, kamu duluan saja, saya nanti-nanti,'" terang Lukas.
Kebutuhan pangan tidak terlalu menjadi masalah di Panti Jompo Waluya Sejati Abadi. Selain dari donasi, bahan pangan juga didapat dari solidaritas kawan-kawan penghuni panti yang tak ditahan pada tahun 1965.
Delapan belas tahun berlalu, kini hanya Lukas yang tersisa di panti jompo tersebut. Penghuni yang lain telah banyak yang meninggal dunia atau kembali ke keluarga.
"Yang di sini itu rata-rata usianya 75. Saya ini yang masih beruntung, 83. Jadi entah itu laki-laki, perempuan, itu meninggal karena usia," kata Lukas.
Meski Lukas tinggal sendiri, ia sering kedatangan tamu. Entah itu kedua cucunya yang sesekali berkunjung, sukarelawan yang membantu mengurus panti jompo, mahasiswa yang melakukan penelitian, hingga para wartawan.
Lukas selalu menyambut tamu-tamunya dengan semangat. Selain itu, Lukas juga nampak masih berjuang sesuai panggilan hatinya sebagai guru. Sambil bercengkrama, ia tak pernah luput membagikan ilmu yang ia punya dari buku-buku yang ia baca. Dalam setiap diskusi, ia selalu berharap agar generasi muda tidak melupakan sejarah kelam bangsa ini.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini