Kisah Eks Tapol Lukas Tumiso, Dari Penjara Hingga Pulau Buru

Kisah Eks Tapol Lukas Tumiso, Dari Penjara Hingga Pulau Buru

Nada Celesta - detikNews
Jumat, 30 Sep 2022 06:05 WIB
Jakarta -

Di balik garis wajah keriput serta tangan yang gemetaran, ada sorot mata tajam dan derap langkah mantap. Ia tinggal dan mengisi hari-harinya di sebuah Panti Jompo Waluya Sejati Abadi, Kramat 5, Jakarta Pusat. Dia adalah penghuni terakhir gedung tua itu. Kawan-kawan sesama penghuni banyak yang telah meninggal dunia atau kembali ke keluarga. Dengan membaca buku, rasa sepi sejenak menghilang dan otaknya tetap terasah.

"Kalau saya diajak ngobrol itu otak saya masih fresh, masih fresh. Karena saya membaca buku," katanya.

Laki-laki tua itu adalah Lukas Tumiso. Semasa muda, Lukas atau yang biasa dipanggil Cak So adalah seorang guru yang juga sedang menjalani pendidikan di IKIP Surabaya. Saat itu,ia tergabung dalam Resimen Mahasurya Jawa Timur, organisasi pemuda pro Soekarno. Keterlibatan dalam organisasi inilah yang menyebabkan ia ditangkap di era Presiden Soeharto.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Desember (1965) ditangkap, ditangkap itu biasa aja, saya didatangi, diajak bicara, naik Jeep, dibawa ke Kodim (Komando Distrik Militer, red). Setelah di Kodim, pindah ke Koblen, Koblen pindah ke Kalisosok, setelah berapa bulan, pindah ke Nusakambangan. Kita dibawa ke Pulau Buru tanggal 17 Agustus 1969," kenang Lukas di program Sosok detikcom (30/9/22).

10 tahun lamanya Lukas ditahan di Pulau Buru bersama dengan 12 ribu tahanan politik lainnya. Namun, Lukas mengaku bahwa Pulau Buru bukanlah penjara yang paling berat. Menurut penuturannya, penjara Kalisosok Surabaya adalah yang paling menyeramkan.

ADVERTISEMENT

"Kalau di penjara di Kalisosok Surabaya itu, penjaranya itu lebih kejam dari penjara yang lain. Satu sel itu (harusnya) isinya 15 orang, itu bisa diisi 40 orang. Sehingga tidur saja bergantian. Dan dalam posisi berdiri. Dan yang mati itu hampir 60%. Dan yang mati tidak kita laporkan. Mengapa tidak kita laporkan? Supaya jatah makannya bisa kita terima," kata Lukas.

Di Buru, ia menggambarkan kondisi saat itu bagai kuda yang lepas dari kandang. Meski demikian, 'kebebasan' yang ia rasakan juga penuh dengan keterbatasan. Suplai makanan dari pemerintah hanya bertahan 6 bulan. Sementara itu, untuk menyambung hidupnya di pulau asing, ia mengambil sagu di kebun milik warga. Dengan peralatan seadanya, Lukas mengolah sendiri bahan makanan curian itu.

Pembebasannya dari Buru pada 1979 bukanlah akhir penderitaannya. Status baru yang disandangnya sebagai bekas tahanan politik menjadi ganjalan Lukas untuk kembali ke profesi sebagai guru. Cap yang dihasilkan dari propaganda anti PKI berdampak besar pada hidupnya. Tidak ada jalan lain, dirinya pun melakukan apapun untuk mempertahankan hidup termasuk merintis usaha material bangunan.

Kebutuhan Lukas Tumiso di masa tua, halaman selanjutnya.

Puluhan tahun berlalu. Secara fisik, hidup Lukas berubah. Kini, ia tidak perlu lagi mengais untuk mengisi perutnya. Tempat tinggalnya kini cukup menyediakan kebutuhan untuk hidup. Namun, ia menyadari, ada hal lain yang membuatnya gelisah. Di usianya kini, ia merindukan sosok seorang istri.

"Ternyata hari-hari terakhir itu memang butuh. Ada yang diajak bicara, ternyata itu perlu," terang Lukas.

Di balik keresahan serta kondisi fisik yang tidak lagi muda, ada semangat yang masih sama. Tidak ada penyesalan, melainkan perjuangan mencari keadilan. Untuk itu, di waktu-waktu tertentu ia turun ke jalan mendukung aksi Kamisan. Sebagai bentuk antusiasmenya, ia membuat sendiri properti untuk aksi: tengkorak dan tulang belulang dari bubur kertas.

Dalam beberapa kesempatan, ia berusaha menularkan semangat itu kepada para generasi muda yang ditemuinya. Lukas ingin mereka mengingat masa kelam dan gelap saat dia dan ribuan orang dibantai dan diasingkan. Untuk merawat ingatan itu, Lukas sesekali mengunjungi Pulau Buru. Di sana, ia merenovasi makam kawan-kawan sesama tahanan yang meninggal dan tidak sempat dipulangkan.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads