Di balik garis wajah keriput serta tangan yang gemetaran, ada sorot mata tajam dan derap langkah mantap. Ia tinggal dan mengisi hari-harinya di sebuah Panti Jompo Waluya Sejati Abadi, Kramat 5, Jakarta Pusat. Dia adalah penghuni terakhir gedung tua itu. Kawan-kawan sesama penghuni banyak yang telah meninggal dunia atau kembali ke keluarga. Dengan membaca buku, rasa sepi sejenak menghilang dan otaknya tetap terasah.
"Kalau saya diajak ngobrol itu otak saya masih fresh, masih fresh. Karena saya membaca buku," katanya.
Laki-laki tua itu adalah Lukas Tumiso. Semasa muda, Lukas atau yang biasa dipanggil Cak So adalah seorang guru yang juga sedang menjalani pendidikan di IKIP Surabaya. Saat itu,ia tergabung dalam Resimen Mahasurya Jawa Timur, organisasi pemuda pro Soekarno. Keterlibatan dalam organisasi inilah yang menyebabkan ia ditangkap di era Presiden Soeharto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Desember (1965) ditangkap, ditangkap itu biasa aja, saya didatangi, diajak bicara, naik Jeep, dibawa ke Kodim (Komando Distrik Militer, red). Setelah di Kodim, pindah ke Koblen, Koblen pindah ke Kalisosok, setelah berapa bulan, pindah ke Nusakambangan. Kita dibawa ke Pulau Buru tanggal 17 Agustus 1969," kenang Lukas di program Sosok detikcom (30/9/22).
10 tahun lamanya Lukas ditahan di Pulau Buru bersama dengan 12 ribu tahanan politik lainnya. Namun, Lukas mengaku bahwa Pulau Buru bukanlah penjara yang paling berat. Menurut penuturannya, penjara Kalisosok Surabaya adalah yang paling menyeramkan.
"Kalau di penjara di Kalisosok Surabaya itu, penjaranya itu lebih kejam dari penjara yang lain. Satu sel itu (harusnya) isinya 15 orang, itu bisa diisi 40 orang. Sehingga tidur saja bergantian. Dan dalam posisi berdiri. Dan yang mati itu hampir 60%. Dan yang mati tidak kita laporkan. Mengapa tidak kita laporkan? Supaya jatah makannya bisa kita terima," kata Lukas.
Di Buru, ia menggambarkan kondisi saat itu bagai kuda yang lepas dari kandang. Meski demikian, 'kebebasan' yang ia rasakan juga penuh dengan keterbatasan. Suplai makanan dari pemerintah hanya bertahan 6 bulan. Sementara itu, untuk menyambung hidupnya di pulau asing, ia mengambil sagu di kebun milik warga. Dengan peralatan seadanya, Lukas mengolah sendiri bahan makanan curian itu.
Pembebasannya dari Buru pada 1979 bukanlah akhir penderitaannya. Status baru yang disandangnya sebagai bekas tahanan politik menjadi ganjalan Lukas untuk kembali ke profesi sebagai guru. Cap yang dihasilkan dari propaganda anti PKI berdampak besar pada hidupnya. Tidak ada jalan lain, dirinya pun melakukan apapun untuk mempertahankan hidup termasuk merintis usaha material bangunan.
Kebutuhan Lukas Tumiso di masa tua, halaman selanjutnya.