Ropina Tarigan, Lawan Stigma Bagi Anak Pejuang HIV

Ropina Tarigan, Lawan Stigma Bagi Anak Pejuang HIV

Nada Celesta - detikNews
Minggu, 04 Sep 2022 06:59 WIB
Jakarta -

Diskriminasi adalah musuh lama bagi para pejuang HIV/AIDS. Ketidakpahaman tentang media penularan acap kali membuat orang lebih memilih untuk menghindar dan mengurangi interaksi. Hal inilah yang dirasakan oleh pejuang HIV/AIDS yang ditemui oleh tim Sosok detikcom.

Perempuan berumur 20 tahun itu memahami betapa rentan kondisinya akibat virus yang bersarang di tubuhnya. Maka, ia pun harus disiplin menjaga kesehatan. Kekuatan imunnya harus kuat, gizi serta kebugarannya pun harus diperhatikan. Salah satu caranya dalam mempertahankan kesehatan adalah mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) secara teratur.

Pagi itu, tim Sosok berkesempatan untuk menemaninya mengambil obat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Menurutnya, kegiatan ini perlu dilakukan setiap bulan agar bisa mengambil suplai obat serta memonitor kondisi tubuh. Sebab, sedikit saja ada unsur gizi yang rendah akan berpengaruh besar terhadap imunitasnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Baginya, adalah suatu pilihan antara minum obat kemudian merasakan efek sampingnya atau membiarkan virus berkembang dengan menjauh dari obat.

"Itu efeknya sampai nggak nafsu makan. Kalau sekarang setelah obat sudah diganti dengan yang kecil, sudah nggak telat lagi. Telat sih iya, tapi kalau bolong-bolong sudah nggak. Kalau dulu masih obat yang besar, itu nggak pernah diminum. Karena terlalu nggak kuat sama efeknya. Efeknya sampai pusing terus tenggorokan kering dan perut sakit. Seperti merasa mual juga, terus nafsu makan berkurang.," ujarnya kepada tim Sosok detikcom, Minggu (4/9).

ADVERTISEMENT

Kesadarannya untuk menjaga imun tidak terjadi tiba-tiba. Sejak mengetahui dirinya terjangkit virus HIV pada umur 12 tahun, dirinya tidak serta-merta mengetahui langkah apa saja yang harus dilakukan. Beruntung ia bertemu Ropina Tarigan, seorang bidan yang peduli dengan nasib anak-anak pejuang HIV. Oleh Ropina, ia ditampung serta dirawat di rumahnya yang sekaligus menjadi penampungan anak dengan HIV/AIDS (ADHA).

Yayasan itu bernama Vina Smart Era (VSE), sebuah gerakan yang tidak hanya memberi pendidikan serta bantuan kesehatan bagi ADHA tetapi sekaligus memberi perlindungan bagi mereka yang terkucilkan. Berjalan secara mandiri, perjuangan VSE kadang terganjal oleh besarnya biaya operasional. Kini ada 6 anak dengan rentang usia 2 hingga 6 tahun yang tinggal di sebuah rumah tiga lantai di kawasan Tambora Jakarta Barat.

Sebelum 'melawan' masyarakat, Ropina harus berhadapan dulu dengan keluarganya. Simak di halaman berikutnya.

"Bisa dikalkulasi setiap bulan secara umum membutuhkan kurang lebih paling ideal 4 dus susu dancow bubuk yang 400 gram. Satu bulan 3,2 kilo, itu yang ideal. satu bulan 4 dus, belum di luar makanan. Makanan keras di luar susu. Semua itu harus terpenuhi tapi anak anak kita bukan sekadar yang tinggal di asrama, ada yang di luar asrama. Makan sehari-hari berapa, biaya sekolah, ada yang di luar yayasan. Jadi nggak bisa dihitung per anak, situasinya berbeda-beda, yang di luar asrama beda, yang di dalam berbeda," ungkap Ropina.

Bukan hanya itu, Ropina pun sempat tidak memperoleh restu dari suami serta anak-anaknya.

Dulu terus terang aja anak saya juga bilang 'mama mengurus orang sampai pulang malam, anak sendiri nggak diurus' terus bapak juga bilang 'emang itu ada uangnya? Ngapain sih?'," kenang Ropina.

Namun, semangatnya tumbuh saat mengetahui masih adanya tindak perundungan di lingkungan para ADHA. Bukan hanya di lingkungan bermain, diskriminasi pun muncul di lingkungan sekolah.

"Jadi awalnya dulu mereka ini sekolah di sekolah umum. Jadi begitu ketahuan di sekolah tentang status mereka. Mereka itu bisa dikatakan dikeluarkan dari sekolah. Tapi sekolah tidak mau mengatakan sekolah yang mengeluarkan tetapi pihak sekolah mengatakan bahwa orang tua murid akan mengeluarkan anaknya dari sekolah ini kalau anak yang satu ini tidak dikeluarkan dari sekolah," terangnya.



Kini, perjuangan yang telah dimulai Ropina sejak 2008 itu telah memiliki landasan hukum pada 2015. Hal ini sangat berarti bagi Ropina. Ia mengaku, yayasan yang sudah diakui oleh pemerintah memberinya kekuatan untuk berargumentasi dan secara tidak langsung mendidik pola pikir masyarakat di sekitarnya. Ia pun juga memiliki kekuatan lebih untuk mengayomi para ADHA yang sudah tidak tinggal lagi di rumah Ropina.

Target Ropina, halaman selanjutnya.


"Saya membuka yayasan dengan tinggal bersama mereka tujuannya satu, agar masyarakat bisa melihat bahwa kita yang hidup bukan dengan tanpa negatif HIV ternyata hidup dengan anak-anak itu tidak ada masalah, kita tidak terkontaminasi atau tertular. Jadi diskriminasi atau stigma mengenai tadi minimal bisa kita hapus di masyarakat. minimal masyarakat sekitar sini tahu itu," ungkapnya.

Berbuat baik, bukan berarti menjalani panggilan dengan lancar. Ropina mengaku, berbagai pandangan serta gosip miring dari masyarakat sekitar tempat tinggalnya pun sudah banyak ia rasakan. Hidup bersama para anak dengan HIV dalam satu atap di lingkungan padat seperti Tambora memaksa Ropina untuk taktis dalam menghadapinya. Ia memilih untuk terbuka dan aktif untuk menyebar informasi terkait yayasan yang ia jalankan.

Target Ropina adalah membuka mata masyarakat agar stigma yang selama ini terbangun bisa runtuh. Baginya, hal itu adalah bentuk dukungan yang paling dibutuhkan saat ini. Ia melihat, berbagai tekanan sosial yang menerpa terlalu berat untuk dihadapi anak-anak asuhnya yang masih berusia belia.

"Sebenarnya harapan kita masyarakat bisa bersedia memberikan dukungan. Minimal tidak menstigma atau mendiskriminasi. Mereka sekali lagi, mereka hidup dalam kemiskinan, mereka harus berjuang melawan penyakit, mereka tidak punya dukungan orang tua atau keluarga. Lantas kita ingin menambahkan beban. Luar biasa jahat untuk saya pribadi. Seharusnya kita mendukung di satu sisi malah kita mendiskriminasi," tutupnya.

Halaman 2 dari 3
(vys/vys)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads