Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA) mengajukan judicial review Pasal 433KUH Perdata ke Mahkamah Konstitusi (MK). IMHA meminta pasal itu diubah. Apa alasannya?
Pasal 433 KUHAP berbunyi:
Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menyatakan Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa; dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan' tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental," demikian petitum IMHA dalam berkas judicial review yang dilansir website MK, Jumat (2/9/2022).
IMHA menilai Pasal 28 G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan dungu, gila, mata gelap atau keborosan.
Berikut bunyi pasal tersebut:
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Namun, menurut mereka sesua terminologi yang secara umum dikenal, 'keadaan dungu, gila, mata gelap atau keborosan' merupakan ketentuan mengenai subjek hukum yang mengalami disabilitas sebagaimana telah diatur dalam Komvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas.
IMHA juga menilai Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan sejumlah pasal di UUD 1945, salah satunya Pasal 28 G ayat 2 di mana setiap orang berhak bebas dari penyiksaan. Menurut mereka, pasal 433 justru menempatkan mereka yang dalam keadaan gila, mata gelap atau keborosan rentan mendapat penyiksaan jika ditaruh di bawah pengampuan.
IMHA menjelaskan, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang telah diratifikasi mewajibkan Indonesia harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia di wilayah hukumnya.
"Pasal 433 KUHPerdata yang mengharuskan setiap orang dewasa yang dalam keadaan dungu, gila, atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan menimbulkan kerentanan bagi penyandang disabilitas mental karena mengalami perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia," beber IMHA.
Menurut IMHA, pengampuan berdampak menghilangkan hak tindakan keperdataan dengan membiarkan orang lain mengambil keputusan bagi penyandang disabilitas mental. Seperti pengambilan keputusan untuk penggunaan jasa pelayanan kesehatan, pemilihan pengobatan, bentuk dan masa perawatan serta penempatan penyandang disabilitas mental di tempat panti-panti rehabilitasi mental dan rumah sakit jiwa.
"Bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan penyandang disabilitas mental seringkali berada dalam kondisi perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Para penyandang disabilitas mental seringkali ditempatkan di panti-panti yang menyerupai sel penjara. Pintu, jendela, dan dindingnya terbuat dari jeruji besi," urai IMHA.
Selain bangunan fisik yang tidak memadai, IMHA mengungkapkan banyak penghuni panti yang tidur tanpa alas dan sanitasi yang buruk dengan tumpukan sampah dimana- mana. Beberapa panti bahkan disebutnya kerap membiarkan penghuninya kelaparan dan beberapa penghuni kondisi fisiknya sangat kurus seperti tengkorak.
"Penghuni panti kerap menghadapi kekerasan fisik dan/atau verbal, seperti melakukan penggundulan terhadap penghuninya baik laki-laki maupun perempuan tanpa persetujuan kepada yang bersangkutan, dimandikan atau terpaksa mandi di tempat terbuka, dan mengizinkan penghuni perempuan dimandikan oleh petugas laki-laki," papar IMHA.
IMHA melanjutkan, banyak juga keluhan tentang tindak kekerasan, pelecehan seksual, dan berbagai tindak kekerasan lain penghuni panti. Para penghuni panti ini menurut mereka terlalu takut untuk melaporkan kejadian tersebut, terutama karena banyak di antara pelaku adalah petugas panti. IMHA mengatakan kondisi ini menempatkan penghuni dalam posisi yang sangat rawan dan tidak berdaya.
"Berdasarkan penelitian yang dilakukan PEMOHON I, banyak Penyandang Disabilitas Mental yang mengalami pemaksaan masuk ke Panti Sosial. Seseorang bisa dipaksa masuk ke panti sosial hanya karena anggapan mengalami gangguan kejiwaan, dan tanpa ada diagnosa medis," papar IMHA.
Oleh sebab itu, IMHA menilai Pasal 433 KUHPerdata melanggengkan praktek penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia kepada penyandang disabilitas mental yang bertentangan dengan Pasal 28 G ayat (2) UUD 1945.
"Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Suum cuique tribuere," petitium pamungkas IMHA.
Permohonan ini sudah didaftarkan ke MK dan sedang diproses di kepaniteraan MK.
Simak juga 'Alasan Terkuat MK Tolak Legalisasi Ganja Medis':