Ia menyebut dalam RUU Sisdiknas hanya menyebutkan satu jenis pesantren. Hal tersebut bertolak belakang dengan UU Pesantren yang bersifat lex specialis dan telah mengakui berbagai macam jenis pesantren.
"Laku penyusun Rancangan Perubahan UU Sisdiknas ini tidak menjadi contoh yang baik dalam menaati aturan yang ada. Kalau tidak dikoreksi dapat meredusir pengakuan negara terhadap jenis-jenis pesantren yang disebutkan di dalam UU Pesantren," ujar Hidayat Nur Wahid dalam keterangannya, Rabu (31/8/2022).
"Juga dikhawatirkan terjadi pembonsaian dan adu domba yang menciptakan kegaduhan di kalangan pesantren yang sudah sama-sama menerima UU Pesantren. Karenanya sudah seharusnya RUU ini dikembalikan kepada ketentuan yang benar dalam UU Pesantren," imbuhnya.
Lebih lanjut, pria yang akrab disapa HNW memaparkan sejumlah ketentuan di dalam RUU Sisdiknas sebagai landasan kritikannya. Ia menyoroti tiga pasal yakni Pasal 47, 74,dan 120 yang menggambarkan pesantren hanyalah berbentuk pengajian kitab kuning. Hal ini tidak selaras dengan UU No. 18 Tahun 2018 tentang Pesantren.
Dalam Undang-Undang tersebut telah disebutkan adanya tiga jenis pesantren yait pesantren tradisional yang mengajarkan kitab kuning, pesantren yang berbentuk pengajaran dirasah islamiah dengan pola pendidikan mualimin, dan terakhir adalah pesanten yang terintegrasi dengan pendidikan umum.
Lebih lanjut, anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan keagamaan ini juga mengutip Pasal 5 ayat (1) UU Pesantren dengan ketentuan yang berbunyi, Pesantren terdiri atas:
a) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Pengkajian Kitab Kuning;
b) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Mualimin; atau
c) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum.
"Memang, di dalam RUU Sisdiknas itu merujuk kepada UU Pesantren di berbagai penjelasannya. Namun, ironisnya malah hanya ada penyebutan secara spesifik terhadap salah satu jenis pesantren saja, dan itu dapat mengabaikan keberadaan dua jenis pesantren lainnya yang sama-sama diakui oleh UU Pesantren. Jadi, tidak sinkron dengan UU Pesantren, sehingga harus diperbaiki," imbuhnya.
Selain terkait penyebutan jenis pesantren, HNW menambahkan ada beberapa poin yang perlu diperhatikan Kemendikbud. Poin ini disebutnya sebagai catatan dan kritikan publik.
"Misalnya, terkait hilangnya tunjangan profesi guru dan dosen serta tunjangan lainnya di dalam RUU Sisdiknas. Seharusnya tunjangan guru itu dieksplisitkan dan ditingkatkan, bukan malah dihapuskan, atau dibuat abu-abu," katanya.
Terkait dengan penghapusan tunjangan, Kemendikbudristek telah memberikan penjelasan dan mengatakan akan memberikan penghaslan yang layak kepada guru secara langsung. Namun, HNW menilai hal tersebut baru sebatas janji, sehingga menimbulkan kekhawatiran bila janji itu tidak terealisasi.
"Jadi, lebih baik secara eksplisit dan definitif ditegaskan saja di dalam RUU, bahwa konsep yang ada tidak untuk menghilangkan tunjangan tersebut, dan tidak untuk merugikan kesejahteraan guru," tambahnya.
Ia menyatakan kesejahteraan guru dan dosen merupakan salah satu bentuk pelaksanaan prinsip keadilan sosial. Sebagaimana ketentuan Pancasila dan Pembukaan UUD, dan merupakan salah satu pilar utama untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
"Kalau para pendidiknya saja tidak sejahtera, atau terus berada dalam ketidakpastian, bagaimana kualitas pendidikan Indonesia dapat ditingkatkan. Karena pendidik merupakan salah satu pelaku dan pemangku kepentingan utama di dalam sukses pendidikan dan pengajaran," tuturnya.
HNW juga mengingatkan Kemendikbudristek agar berhati-hati dalam menyusun draft perubahan yang kemudian akan dibahas bersama DPR, para pakar pendidikan, juga dengan organisasi dan berbagai ormas. Apalagi perubahan ini mencakup UU Sisdiknas (UU No. 20 Tahun 2003), UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Apalagi, ada banyak kritikan publik terhadap RUU Sisdiknas ini, seperti kurikulum yang dinilai belum bisa menjawab tantangan ke depan, isu berkaitan dengan komersialisasi pendidikan yang berujung pada tindak korupsi, dan hal-hal lainnya yang perlu disusun dan dibahas secara hati-hati dan seksama.
HNW juga berharap perubahan UU Sisdiknas yang mengakui PAUD ini dapat mengakomodasi aspirasi dari Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI), terutama dari sektor non-ormal untuk diberlakukan secara setara dan adil dengan pendidik-pendidik lainnya.
"Aspirasi ini sudah mereka sampaikan bertahun-tahun, bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi. Sudah selayaknya negara memberikan perhatian yang layak bagi mereka juga," tukasnya.
Itu juga sebagai konsekuensi logis karena RUU Sisdiknas ini mengakui jenis pendidikan anak usia dini (PAUD) ke dalam jenjang pendidikan, sebelum pendidikan dasar.
"Ini merupakan langkah yang baik dan maju, tetapi harus dipastikan bahwa langkah tersebut juga berimplikasi positif kepada guru-guru PAUD , untuk mendapatkan hak-haknya sebagai pendidik. Seperti Pendidik dalam jenjang pendidikan yang lain. Kemendikbudristek harus benar-benar mendengarkan masukan dan kritik-kritik, agar tak ulangi tragedi, juga agar tujuan dan visi pendidikan Nasional sebagaimana dinyatakan tegas dalam Pasal 31 ayat (3) dan (5) UUD NRI 1945 dapat terwujud," pungkasnya. (ncm/ega)