Fenomena Islamophobia semakin menguat di tanah air belakangan ini. Menurut Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, ada tiga hal mendasar yang menyebabkan hal itu terjadi.
Ketiga hal tersebut dikupas LaNyalla saat memberikan Keynote Speech Kongres ke-2 Umat Islam Sumatera Utara, di Medan, Jumat (26/8/2022). Kegiatan ini mengangkat tema 'Membangun Ukhuwah, Melawan Islamophobia, Menata Ulang Indonesia'.
"Yang menjadi pertanyaan kita saat ini adalah, mengapa fenomena Islamophobia belakangan semakin menguat di Indonesia? Selain faktor Geopolitik Internasional, menurut saya ada tiga persoalan mendasar di dalam negeri kita yang memicu meningkatnya Islamophobia di Indonesia," tuturnya.
Dijelaskan LaNyalla, pemicu pertama adalah polarisasi. Menurutnya, potensi konflik antar kelompok masyarakat sebenarnya terjadi sejak era kontestasi pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung yang disertai dengan Ambang Batas pencalonan.
"Kita semua pasti mengenal istilah Presidential Threshold. Di sinilah akar masalahnya. Karena akibat aturan ambang batas inilah, pasangan calon yang dihasilkan terbukti sangat terbatas," tuturnya.
Celakanya, sambung LaNyalla, dari dua kali Pemilihan Presiden, negara ini hanya mampu menghasilkan dua pasang calon, yang head to head. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam.
"Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat," katanya.
Puncaknya, anak bangsa secara tidak sadar membenturkan Vis-à-vis Pancasila dengan Islam. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam.
"Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin parah, ketika ruang dialog dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara," ujarnya.
Faktor kedua, sebut LaNyalla, adalah semangat membangun kebinekaan dilakukan dengan kampanye Moderasi Agama yang tidak tepat sasaran. Seolah Agama harus secara massif dan dipaksa untuk dimoderatkan.
"Tetapi yang menjadi sasaran pembahasan selalu Islam. Dan Islam seolah menjadi tertuduh sebagai penyebab kemunduran dalam hal kemampuan mengelola perbedaan dan keberagaman, karena dianggap memahami agama secara tekstual dan ekslusif," katanya.
Senator asal Jawa TImur ini menjelaskan, narasi-narasi seperti ini secara tidak langsung justru memicu menguatnya Politik Identitas, sebagai reaksi alami dari bentuk
ketidaksetujuan terhadap konsep Moderasi Agama yang menyudutkan Islam tersebut.
Baca halaman berikutnya..
(mpr/ega)