Mahkamah Agung (MA) menolak judicial review Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) soal kampus A yang bisa memberi gelar profesor kehormatan. Alhasil, Permendikbud itu semakin kukuh dengan putusan itu.
Putusan itu diajukan oleh pengacara Heru Widodo. Peraturan yang dimaksud yaitu Permendikbud Nomor 38/2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. "Permohonan HUM NO" demikian bunyi putusan MA yang dilansir websitenya, Rabu (24/8/2022).
Putusan itu diketok oleh ketua majelis Prof Supandi dengan anggota Is Sudaryono dan Yodi Martono Wahyunadi. Putusan 46 P/HUM/2022 diketok pada 18 Agustus 2022 dengan panitera pengganti Muhamad Yusup.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal yang dijudicial review adalah Pasal 2 ayat 3:
Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:
a. memiliki peringkat akreditasi A atau unggul; dan
b. menyelenggarakan program studi program doktor atau doktor terapan sesuai dengan bidang kepakaran calon Profesor Kehormatan dengan peringkat akreditasi A atau unggul
Pasal 3:
Setiap orang yang diangkat menjadi Profesor Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi kriteria meliputi:
a. memiliki kualifikasi akademik paling rendah doktor, doktor terapan atau kompetensi yang setara dengan jenjang 9 (sembilan) pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia;
b.memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa;
c.memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional; dan
d.berusia paling tinggi 67 (enam puluh tujuh) tahun.
Menurut pemohon, kampus yang terakreditasi A sangat sedikit di Indonesia, sehingga menutup kampus-kampus di berbagai daerah untuk mendapatkan pengajar yang berkualitas.
"Tidak boleh ada peraturan yang menghambat kampus untuk mendapatkan profesor kehormatan. Jadi semacam reward dari kampus, penghargaan kepada praktisi yang sudah memiliki kualitas dalam kepakarannya," kata kuasa Heru Widodo Andi Asrun saat dihubungi detikcom, Rabu (29/6/2022).
Andi Asrun juga tidak menutup mata bila ada rumor 'obral profesor kehormatan'. Namun solusinya bukan dengan membatasi kampus yang ingin memperoleh tukar pengalaman dari ahli di bidangnya.
"Profesor kehormatan tidak perlu sampai Mendikbud yang mengukuhkan. Cukup kampus saja. Sekarang zaman Kampus Merdeka, praktisi hukum mengajar ke kampus. Bagaimana mahasiswa tahu kalau bukan praktisi yang mengajar?" beber Andi Asrun.
(asp/zap)