Menjadi dokter di wilayah 3T (Terluar, Tertinggal dan Terdepan) memiliki tantangan yang sangat berat. Bukan hanya persoalan akses yang sulit, melainkan seorang dokter harus siap mengobati dan juga mengedukasi kebiasaan negatif masyarakat.
Hal ini diakui oleh dr. Rini Gumala Cahyaasih yang kini menjabat sebagai Direktur Utama RSUD Tarempa di Kepulauan Anambas. Pengalaman yang berat itu dirasakannya saat ia masih bertugas sebagai Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) pada 2004 silam.
dr. Rini dulunya merupakan seorang dokter di pabrik perusahaan swasta Batam. Namun, karena izin prakteknya saat itu tidak bisa diperpanjang, akhirnya ia mendaftar pada program Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai Dokter PTT.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah mendaftar, kemudian saya mendapat penugasan (untuk promosi kesehatan) di Puskesmas Palmatak atau Pulau Matak di Kepulauan Anambas. Waktu itu daerah ini sebelum pemekaran masuk wilayah Natuna," ujarnya kepada Tim Tapal Batas detikcom beberapa waktu lalu.
Dia bercerita untuk menuju lokasi tempat ia ditugaskan tersebut membutuhkan perjuangan. Pasalnya, akses transportasi yang harus ia lalui menggunakan Kapal Pelni KM Bukit Raya dengan perjalanan yang panjang. Setelah dekat pulau pun ia harus turun di tengah laut.
"Untungnya, kami semuanya sudah dilatih, bahwa medan yang akan dihadapi seperti yang digambarkan, jadi tidak ada rasa cemas takut dan sebagainya," jelasnya.
Selain itu, fasilitas puskesmas di Palmatak saat ia bertugas serba terbatas. Fasilitas rumah dinas yang seharusnya ia tempati juga tidak ada, ia mesti ikut menginap di rumah penduduk yang salah satu penghuninya merupakan perawat di tempat ia bertugas.
"Saya ditempatkan di rumah penduduk, zaman dokter dulu kan, jadi saya tinggal di rumahnya Pak Ruslan dia dulu perawat yang biasa antar jemput saya, kemudian saya jalani di puskesmas Palmatak dalam waktu 2 tahun," ungkapnya.
Selama dua tahun awal ia bertugas di Pulau Palmatak, Kepulauan Anambas itu, dia mencermati banyak kebiasaan tidak umum di kalangan masyarakat setempat. Salah satunya, upacara adat tujuh bulanan bagi orang hamil yang diketahui sangat berbahaya bagi kandungan.
"Jadi di sana ketika hamil tujuh bulanan, orang di sana mau nggak mau harus menenggang rasa mengikuti apa kata orang tua, ada upacara-upacara yang saat itu harus makan telur mentah dua-duanya (putih dan kuning telur)," ungkapnya.
"Biasanya telor mentah itu putihnya aja ya, masuk dalam susu, tapi yang jadi pemikiran saya anehnya ini harus ditelan mentah, tapi positif thinking, karena itu adat istiadat 7 bulanan gitu. Saya ikuti dulu," tuturnya.
Halaman Selanjutnya: Kebiasaan Ibu Hamil di Perbatasan
Simak juga '77 Meter Bendera Merah Putih Dibentangkan di Pulau Terluar Papua Barat':