Jakarta - Korban-korban Ujian Nasional (UN) berjatuhan. Sebagian di antara mereka adalah murid-murid yang pintar di sekolahnya. Hanya karena nilai Matematika, mereka tidak lulus. Seperti dialami oleh Romanus Harga Pramudya, siswa SMA Kolese De Britto, Yogyakarta. Betapa tidak sedih Romanus. Dalam UN, Roanus mendapat nilai 8,6 pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sedangkan nilai Bahasa Inggris mencapai 9,2. Dia pun sudah berjuang bersaing dengan 4.000 siswa untuk meraih 1 kursi di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG). Hasilnya, dia diterima di FKG. Tapi, karena sistem 'rata-rata' untuk UN dihapus, Romanus pun harus gigit jari. Dia tentu tidak bisa menerima kenyataan ini. Dia meminta pemerintah menggelar ujian tahap II. Berikut uneg-uneg Romanus dalam e-mailnya kepada redaksi
detikcom, Jumat (23/6/2006): "Saya adalah salah satu siswa kelas III SMA yang tidak lulus Ujian Nasional (UN) tahun ajaran 2005-2006. Dengan nilai 3 pada mata pelajaran Matematika, cukup untuk saya mendapat predikat tidak lulus, meskipun saya mendapat nilai 8,6 pada mata pelajaran Bahasa Inggris dan nilai 9,2 pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Namun pendidikan sekarang jauh dari pengertian tersebut. Lulus atau tidaknya seseorang, hanya ditentukan dari ujian selama tiga hari, tanpa memperhatikan proses belajar mengajar selama tiga tahun yang telah ditempuh siswa.Apakah hasil ujian tersebut menjamin mutu pendidikan di negara ini? Apakah siswa yang lulus dengan mendapat nilai 4,26 pada seluruh mata pelajaran terjamin kualitas pendidikannya? Sedangkan siswa yang jatuh hanya di salah satu mata pelajaran adalah siswa yang tidak layak untuk meneruskan pendidikan ke jenjang selanjutnya, meskipun nilai lainnya jauh di atas batas kelulusan?Saya memang bukan siswa yang pandai. Namun ketekunan saya berhasil menghantarkan saya untuk diterima pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gajah Mada, di mana untuk mendapatkan 1 kursi, saya harus bersaing dengan lebih dari empat ribu orang. Di sekolah pun,saya bukan ranking terakhir pada kelas paralel, namun siswa yang mendapat nilai lebih rendah dari saya, kecuali matematika bisa lulus dan dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Inikah peningkatan mutu pendidikan, di mana siswa yang mempunyai kecerdasan cukup, namun karena gagal dalam satu bidang, kesempatan meraih impiannya hilang begitu saja. Sedangkan siswa yang nilainya pas-pasan diberi kesempatan lebih untuk membangun bangsa ini menjadi lebih baik? Di mana prinsip multi kecerdasan? Apa artinya nilai psikomotorik, afektif, dan kognitif dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, jika pada akhirnya hasil akhir yang disebut UN yang menentukan? Jika sudah begitu, apa artinya keberadaan Kurikulum Berbasis Kompetensi? Besar harapan saya, supaya pemerintah mengadakan ujian tahap II." Anda mengalami kenyataan seperti Romanus? Atau Anda memiliki anak, keponakan, atau saudara yang bernasib seperti Romanus? Kirimkan cerita dan harapan Anda melalui e-mail ke: redaksi@staff.detikcom.
(asy/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini