Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan pemerintah untuk memperkuat Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka mengantisipasi potensi ancaman krisis global yang terjadi di sejumlah negara. Menurut Lestari ancaman krisis mesti dihadapi dengan optimisme disertai kewaspadaan lewat berbagai langkah antisipasi yang tepat.
Hal itu disampaikan Lestari dalam diskusi daring bertema 'Menilik Kesiapan Jaminan Sosial Nasional Sebagai Antisipasi Krisis Global' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (27/7).
Diskusi yang dimoderatori Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Dr. Irwansyah itu menghadirkan Anggota DPR RI Komisi IX Ratu Ngadu Bonu Wulla, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK Andi Megantara, Wakil Rektor Universitas Pertamina Budi W. Soetjipto, dan Dekan Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Nunung Nuryantono sebagai narasumber.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, hadir pula Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Dr. Ali Masykur Musa dan Ketua DPP Koordinator Bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis Partai NasDem Dr. Suyoto sebagai penanggap.
"Di tengah upaya untuk mengantisipasi dampak krisis global, kita juga harus memeriksa kembali kapabilitas sistem jaminan sosial yang kita miliki agar kelompok masyarakat yang terdampak mampu dilindungi dengan baik dari ancaman krisis," kata Lestari dalam keterangannya, Rabu (27/7/2022).
Menurut Lestari, SJSN harus berpijak pada tiga asas, yaitu kemanusiaan, manfaat, dan keadilan dalam mewujudkan perlindungan sosial dari negara agar mampu menjamin waga negara mendapat pemenuhan kebutuhan dasar hidup layak.
Lestari menilai sejumlah upaya bangsa ini untuk bangkit dari ancaman krisis sudah mengarah pada jalur yang benar. Namun, Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berpesan kepada pemerintah agar jangan lengah dalam menyikapi potensi dampak krisis global yang mengancam setiap negara saat ini.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK Andi Megantara menambahkan jaminan sosial akan menjadi jaring pengaman bagi setiap warga negara bila terjadi krisis. Jaminan sosial, jelas Andi, merupakan bentuk perlindungan kepada setiap warga negara yang sifatnya wajib.
Andi menjabarkan pemerintah coba membalik strategi dalam menghadapi ancaman krisis bukan langsung lewat jaminan sosial dan bantuan sosial (bansos), namun mengedepankan upaya menciptakan lapangan kerja. Bila daya tahan fiskal negara tidak memadai lagi, ungkap Andi, pemerintah baru mulai menerapkan mekanisme bansos dan jaminan sosial untuk melindungi warga negara dari dampak krisis.
Andi menegaskan saat ini sejumlah instrumen jaminan sosial dalam kondisi sehat seperti outstanding BPJS Kesehatan tercatat Rp 46 triliun dan dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan tercatat Rp 600 triliun. Selain itu, alokasi dana bansos sebesar Rp 450 triliun.
Dengan kondisi tersebut, Andi menyatakan secara teknis Indonesia siap mengantisipasi dampak krisis dengan berbagai upaya untuk tetap menjaga inflasi dan daya beli masyarakat, serta membuka lapangan kerja untuk menekan angka pengangguran.
Sementara itu, Anggota DPR RI Komisi IX dari Fraksi Partai NasDem Ratu Ngadu Bonu Wulla menjabarkan untuk menghadapi dampak krisis global, Indonesia sudah memiliki sejumlah program jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, kata dia, Indonesia juga punya regulasi dalam bentuk Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk menjamin kebutuhan dasar hidup layak bagi setiap warga negara. Ratu berpesan agar sejumlah sistem itu harus diperkuat lewat validasi data dan layanan jaminan sosial yang terus disempurnakan agar tepat sasaran.
Wakil Rektor Universitas Pertamina Budi W. Soetjipto menimpali saat ini sejumlah perubahan terjadi di tingkat global dan melahirkan sejumlah krisis. Budi menilai jaminan sosial nasional di Indonesia relatif siap dalam menghadapi dampak krisis, dengan terus mengupayakan pengelolaan yang lebih baik. Budi pun mengingatkan agar jaminan sosial di sektor informal perlu diperkuat mengingat jumlah pekerja informal tercatat 71,7 juta orang atau 56,7% dari total pekerja di Indonesia.
Adapun Dekan Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor Nunung Nuryantono berpendapat guncangan terhadap sektor kesehatan dan ekonomi akan mengimbas banyak sektor lainnya. Setiap krisis di berbagai negara, jelas Nunung, akan melahirkan implikasi yang berbeda. Ia mengulas potensi dorongan inflasi di Indonesia saat ini didominasi meningkatnya harga pangan.
Diakui Nunung dampak krisis yang disebabkan konflik, perubahan iklim dan COVID-19 serta harga pangan mengimbas 134 juta penduduk dunia di 53 negara. Ia pun menilai tiga program bantuan pemerintah, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), Program Indonesia Pintar (PIP), dan beras untuk masyarakat miskin (Raskin) yang diterapkan bersamaan oleh pemerintah terbukti mampu menekan kesenjangan yang terjadi di masyarakat.
Terkait ancaman krisis global ini, Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Ali Masykur Musa memadang diperlukan upaya preventif agar tidak menimbulkan dampak lebih parah. Ali berharap sejumlah pihak tidak cepat puas terkait capaian ekonomi Indonesia saat ini, karena warga dunia tengah menghadapi ketidakpastian. Menurut Ali, kepastian akan keamanan ketersediaan minyak dan gas, ketersediaan pangan, penguatan sektor informal dan UMKM, akan memperkuat daya tahan Indonesia menghadapi krisis.
Lebih lanjut, Ketua DPP Koordinator Bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis Partai NasDem Suyoto mengaku optimistis Indonesia mampu mengatasi dampak krisis global saat ini. Dia menilai pola konsumsi masyarakat semakin bagus, perang Rusia-Ukraina pun mereda, dan modal sosial bangsa Indonesia yang kuat mendasari sikap optimistisnya.
Suyoto berpendapat saat ini pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang presisi dengan tujuan dan mekanisme yang jelas agar memastikan ketepatan pelaksanaan sejumlah program antisipasi dampak krisis tersebut.
(fhs/ega)