Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjelaskan kriteria negara berisiko tinggi yang menerima transaksi keuangan dari karyawan Aksi Cepat Tanggap (ACT). PPATK mengungkapkan negara berisiko tinggi merupakan negara-negara yang penanganan terorismenya masih lemah.
Direktur Hukum dan Regulasi PPATK Fitrihadi Muslim menjelaskan, hal itu merujuk dari laporan yang dikeluarkan Financial Action Task Force (FATF) yang mempublikasikan tindak pencucian uang atau money laundering terkait kegiatan terorisme.
"Jadi memang ada publikasi yang dikeluarkan salah satunya oleh Financial Action Task Force (FATF) money laundering, itu negara-negara yang dianggap masih lemah penanganan terorismenya. Karena itu, setiap transaksi yang dilakukan oleh para pihak terkait dengan tersebut diminta dilakukan secara mendalam, bahkan dalam hal-hal tertentu dilakukan pembatasan sehingga apa, juga mengurangi risiko," ujar Direktur Hukum dan Regulasi PPATK Fitrihadi Muslim saat jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu (6/7/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejauh ini dalam publikasi di FATF yang masuk dalam negara highest country itu Korea Utara, kemudian Iran, dalam konteks pemenuhan standar internasional pencegahan terrorism money laundering," lanjutnya.
Fitrihadi menjelaskan sistem penanganan terorisme di negara dengan risiko tinggi tersebut masih belum memenuhi standar internasional. PPATK dalam hal ini juga disebutnya telah mengidentifikasi negara-negara yang dinilai berisiko tinggi.
Nah, dari situlah diketahui sejumlah penerima aliran dana dari ACT berasal dari negara yang masuk kategori berisiko tinggi.
"Mereka dianggap sistemnya belum komplit dengan standar internasional. Dan setiap negara juga diminta mengambil risiko termasuk mengidentifikasi apa negara yang memang nanti industri keuangan kita harus hati-hati apabila ada transaksi dengan negara-negara terkait tersebut. Ada beberapa yang kita juga sudah identifikasi di dalam hasil penilaian risiko kita atau nasional resismen kita," jelasnya.
Lebih lanjut, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan transaksi keuangan dari salah satu karyawan ACT yang mengalir ke negara berisiko tinggi senilai Rp 1,7 miliar. Transaksi itu dilakukan sebanyak 17 kali.
"Jadi beberapa transaksi dilakukan secara individual oleh para pengurus dan kemudian ada juga salah satu karyawan melakukan selama periode 2 tahun melakukan transaksi ke pengiriman dana ke negara-negara berisiko tinggi dalam hal pendanaan terorisme. Seperti beberapa negara yang ada di sini dan 17 kali transaksi dengan nominal Rp 1,7 miliar. Antara Rp 10 juta sampai dengan Rp 552 juta. Jadi kita melihat masing-masing melakukan kegiatan sendiri-sendiri ke beberapa negara," kata Ivan.
Selain itu, Ivan mengungkapkan ada dana yang mengalir ke salah satu orang yang berafiliasi dengan organisasi terorisme, Al-Qaeda. Orang tersebut pernah ditangkap di Turki atas kasus terorisme.
"Beberapa nama yang PPATK kaji, berdasarkan hasil koordinasi dan hasil kajian dari database yang PPATK miliki itu ada yang terkait dengan pihak yang... Ini masih diduga ya, patut diduga terindikasi. Dia yang bersangkutan pernah ditangkap menjadi salah satu dari 19 orang yang ditangkap oleh kepolisian di Turki karena terkait dengan Al-Qaeda, penerimanya," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam konferensi pers, di Jakarta, Rabu (6/7/2022).
PPATK masih mendalami lebih lanjut perihal temuan ini. Apakah transaksi keuangan yang dilakukan untuk aktivitas selain donasi.
"Tapi ini masih dalam kajian lebih lanjut, apakah ini memang ditujukan untuk aktivitas lain atau kebetulan. Selain itu ada yang lain yang secara tidak langsung terkait dengan aktivitas-aktivitas yang patut diduga melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan," ungkapnya.
Simak Video 'PPATK Ungkap Transfer Uang Karyawan ACT Berpotensi Pendanaan Terorisme':