Saat Pemerintah Tolak Legalisasi Pernikahan Beda Agama di Sidang MK

Saat Pemerintah Tolak Legalisasi Pernikahan Beda Agama di Sidang MK

Andi Saputra - detikNews
Selasa, 05 Jul 2022 06:00 WIB
Ilustrasi pernikahan beda agama.
Foto: Ilustrasi nikah beda agama (Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Pemerintah menolak melegalkan pernikahan beda agama. Penolakan itu disampaikan dalam sidang judicial review UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh warga Papua, Ramos Petege.

Ramos Petege mengajukan uji materi UU Perkawinan ke MK lantaran tak bisa menikahi pujaan hatinya yang berbeda agama. Ramos beragama Katolik, sedangkan kekasihnya beragama Islam. Keduanya sudah menjalin hubungan 3 tahun lamanya.

"Pemohon adalah warga negara perseorangan yang memeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam. Akan tetapi, setelah menjalin hubungan selama 3 tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut haruslah dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda," demikian bunyi permohonan Ramos Petage.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Persidangan pun digelar. Ramos Petege menghadirkan menghadirkan Direktur Amnesty Indonesia Usman Hamid di persidangan. Menurut Usman Hamid, sudah saatnya Indonesia membolehkan pernikahan beda agama.

"Lembaga‐lembaga HAM dunia, termasuk organisasi non-pemerintah seperti Amnesty International menganggap hak untuk menikah dan membentuk keluarga ini adalah bagian dari hak asasi manusia. Berbagai komentar umum Komite HAM PBB, putusan-putusan Komite HAM Umum PBB ketika memeriksa kasus-kasus perselisihan antara warga negara dengan negara anggota PBB terkait pernikahan menyatakan 'Tidak boleh ada keraguan untuk membolehkan pernikahan beda agama di dalam berbagai kasus negara‐negara tersebut'," beber Usman Hamid.

ADVERTISEMENT

Dalam persidangan itu, pemerintah diwakili oleh Menkumham Yasonna Laoly dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Pernyataan resmi pemerintah itu disampaikan oleh kuasa dari Kemenag, Kamaruddin Amin.

"Makna hukum atau legal meaning ketentuan Pasal 29 UUD 1945 sebagai batu uji Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan oleh Pemohon telah ditafsirkan secara keliru. Bahwa prinsip kemerdekaan dan kebebasan agama disamakan sebagai prinsip yang membolehkan perkawinan beda agama," kata Kamaruddin Amin.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Simak Video: PN Surabaya Sahkan Nikah Beda Agama, Ma'ruf Amin: Tidak Boleh

[Gambas:Video 20detik]




Menurut pemerintah, hukum perkawinan masing‐masing agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia berbeda‐beda, sehingga tidak mungkin untuk disamakan. Suatu hukum perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan untuk menentukan sahnya perkawinan adalah syarat‐syarat yang ditentukan oleh agama dari masing‐masing pasangan calon mempelai.

"Dan terhadap perkawinan tersebut dilakukan pencatatan sebagai tindakan yang bersifat administratif yang dilaksanakan oleh negara guna memberikan jaminan perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara, serta sebagai bukti autentik perkawinan," urai pemerintah.

Pemerintah menegaskan, perkawinan beda agama dan kepercayaan tidak diperbolehkan atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan. Karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang‐undang dengan maksud semata‐mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai‐nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

"Sehingga tidaklah mungkin di negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan setiap orang dapat sebebas‐bebasnya melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan karena bisa jadi pelaksanaan perkawinan berbeda agama dan kepercayaan justru akan melanggar hak konstitusional orang lain yang seharusnya dihormati (respected), dilindungi (protected) oleh setiap orang dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945," beber pemerintah.

Hakim MK pertanyakan relevansi larangan nikah beda agama. Simak di halaman selanjutnya.

Hakim MK Pertanyakan Relevansi Larangan Nikah Beda Agama

Dalam risalah sidang di website MK, hakim konstitusi Suhartoyo mempertanyakan relevansi larangan pernikahan beda agama di UU Perkawinan. Sebab, UU itu telah berusia puluhan tahun sehingga konstektualnya bisa saja dikaji lagi.

"Sebenarnya Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini, ini kan sudah hampir 40 lebih tahun," kata Suhartoyo yang dikutip risalah sidang dari website MK, Senin (4/7/2022).

Suhartoyo menggarisbawahi keterangan DPR yang disampaikan anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani. Dalam keterangannya, Arsul Sani menyampaikan bahwa larangan itu sudah menjadi perdebatan saat lahirnya UU Perkawinan itu.

"Nah, persoalan yang muncul kemudian, memang dalam konteks kekinian, Pak Arsul dan Pak Dirjen, ini kan sudah berbeda dengan tahun 1974. Apakah tetap statis seperti 1973 ataukah sudah ada konteks kekinian yang sebenarnya juga menjadi bahan kajian bersama ketika akan dilakukan perubahan Undang‐Undang Nomor 174 itu, Pak Arsul?" tanya Suhartoyo.

Suhartoyo menyatakan pernikahan beda agama, meski dilarang, tetap dilakukan. Lalu bagaimana solusi hukum atas kekosongan hukum tersebut.

"Kalau Pak Arsul menggunakan istilah civil marriage dan religious marriage yang itu memang tidak bisa dipisahkan, tapi di tataran empirik kan, itu ada. Nah, sebenarnya bagaimana jalan tengah kalau memang ada pandangan‐pandangan ketika pembahasan di 2019 bersama‐sama dengan Presiden ketika ada perubahan itu, dalam perspektif hari ini, yang kemudian bisa menjadi jalan tengah itu?" tanya Suhartoyo lagi.

Menjawab pertanyaan itu, Arsul Sani menyatakan DPR menerima aspirasi soal pernikahan beda agama. Tapi DPR hingga saat ini masih sepakat mempertahankan pasal tersebut.

"Sikap resmi DPR sebagai jawaban kami terepresentasikan dalam sikap fraksi-fraksi yang ada di DPR. Pada umumnya fraksi‐fraksi yang ada di DPR tetap sepakat untuk mempertahankan politik hukum yang diletakkan di dalam Pasal 2 Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974. Nah, kenapa kok tetap mempertahankan? Karena dalam pandangan kami di DPR, ini terkait juga dengan kesepakatan kita bernegara. Kontrak sosial kita bernegara. Bahwa memang kontrak sosial kita bernegara ini, ya, yang kemudian kalau terkait dengan kedudukan agama itu tercermin, baik dalam Sila Pertama Pancasila maupun Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Itu memang berbeda dengan yang ada di negara-negara lain. Di mana perspektif tentang sejauh mana negara boleh masuk dalam ruang privasi seseorang, termasuk dalam urusan perkawinan itu berbeda," jawab Arsul Sani panjang lebar.

Halaman 2 dari 3
(mae/maa)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads