Partai Buruh menggugat UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah alasan diajukan, dari melegalkan omnibus law hingga UU boleh salah ketik.
"Dengan berlakunya Pasal a quo akan menimbulkan kesulitan bagi pembentuk undang-undang dalam memperhatikan dan membahas suatu undang-undang yang dibentuk dengan metode omnibus yang memuat banyak subjek (tidak satu rumpun/bidang), sehingga justru hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum," demikian bunyi permohonan Partai Buruh yang dilansir website MK, Senin (27/6/2022).
Permohonan itu ditandatangani oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal. Menurutnya, kekuasaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus semestinya juga harus dibatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pengaturan Pasal 64 ayat (1b) UU PPP, metode omnibus yang diatur dalam norma a quo tidak memiliki kepastian mengenai batasan materi muatan yang dapat digabungkan dalam satu peraturan perundang-undangan. Tidak adanya batasan tersebut berpotensi menyebabkan puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan materi muatan dapat dibentuk dalam satu Peraturan Perundang-undangan," urai Said Iqbal.
Berdasarkan praktik di beberapa negara di atas, metode omnibus yang memuat banyak materi/subyek/subtansi yang berbeda dan bahkan dapat tidak saling terkait.
"Apabila metode omnibus tersebut justru melanggar asas kepastian hukum dan rentan akan pengabaian dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, maka hal tersebut menjadi persoalan konstitusionalitas karena melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dan BAB XA tentang Hak Asasi Manusia UUD NRI 1945 yang menjamin hak-hak asasi manusia secara umum," beber Said Iqbal.
Partai Buruh juga mempermasalahkan Pasal 72 ayat (1a) terkait boleh merevisi UU yang salah ketik. Yang dimaksud di Pasal itu adalah 'kesalahan teknis penulisan' antara lain adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial.
"Karena Pasal a quo bisa memunculkan suatu materi rancangan undang-undang diubah-ubah substansi materinya pasca persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden, bahkan juga merugikan hak konstitusional Pemohon selaku pihak yang aktif dalam proses perumusan kebijakan dalam konteks ini pembentukan undang-undang," pungkas Said Iqbal.
(asp/zap)