Tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) menyerahkan tahap II berkas dan barang bukti tersangka kasus korupsi pengadaan pesawat PT Garuda Indonesia ke jaksa penuntut umum (JPU). Kejagung mengungkap kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut senilai Rp 8,8 triliun.
"Akibat proses pengadaan pesawat CRJ-1000 dan pengambilalihan pesawat ATR72-600 yang dilakukan tidak sesuai dengan PPA, prinsip-prinsip pengadaan BUMN dan prinsip business judgment rule, mengakibatkan performance pesawat selalu mengalami kerugian saat dioperasikan, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar USD 609.814.504 atau nilai ekuivalen Rp 8.819.747.171.352," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangan tertulisnya, Rabu (22/6/2022).
Diketahui pelimpahan tahap II berkas tersangka dan barang bukti kasus ini dilakukan pada Selasa (21/6/2022) kemarin. Selanjutnya, jaksa akan menyusun dakwaan terhadap ketiga tersangka tersebut agar segera disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Adapun ketiga tersangka di kasus tersebut adalah Setijo Awibowo (SA) selaku VP Strategic Management Office Garuda Indonesia 2011-2012; kedua, Agus Wahjudo selaku Executive Project Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia 2009-2014; serta ketiga, Albert Burhan (AB) selaku VP Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk periode 2005-2012.
Ketut mengatakan, kasus dugaan korupsi itu terkait proyek pengadaan 18 unit pesawat Sub 100 seater tipe jet kapasitas 90 seat jenis Bombardier CRJ-100 pada 2011. Dalam rangkaian proses pengadaan pesawat CRJ-1000 tersebut, Ketut menyebut pengadaan pesawat itu tidak sesuai dengan prosedur pengelolaan armada (PPA) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, baik di tahap perencanaan maupun tahap evaluasi.
Selanjutnya, dalam tahapan perencanaan yang dilakukan Tersangka SA, tidak terdapat laporan analisa pasar, laporan rencana rute, laporan analisis kebutuhan pesawat, dan tidak terdapat rekomendasi BOD dan Persetujuan BOD. Lalu dalam tahap pengadaan pesawat evaluasi, dilakukan mendahului RJPP dan/atau RKAP dan tidak sesuai dengan konsep bisnis 'full service airline' PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Selain itu, Ketut mengatakan proses penetapan pemenang tender tidak dilakukan secara transparan. Oleh karena proses pengadaan pesawat tidak dilakukan secara prosedur, Kejagung meyakini terdapat kerugian keuangan negara mencapai Rp 8,8 triliun.
"ES selaku Direktur Utama, H selaku Direktur Teknik, Tersangka AW, Tersangka AB dan Tersangka SA bersama tim pengadaan melakukan evaluasi dan menetapkan pemenang Bombardier CRJ-1000 secara tidak transparan, tidak konsisten dalam penetapan kriteria, dan tidak akuntabel dalam penetapan pemenang," tutur Ketut.
Para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
Lihat juga video 'Alasan Dirut Garuda Kembalikan Pesawat ke Lessor':