MK Putuskan KY Tak Berwenang Awasi Hakim Konstitusi

MK Putuskan KY Tak Berwenang Awasi Hakim Konstitusi

Andi Saputra - detikNews
Selasa, 21 Jun 2022 08:37 WIB
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA (lahir di Paninggahan, Solok, Sumatera Barat, 20 Agustus 1968) adalah seorang ahli hukum tata negara Indonesia, aktivis anti-korupsi, penulis serta guru besar Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Saldi lahir dari pasangan Ismail dan Ratina. Sekolah dasar hingga menengah ditempuh di kampung halamannya. Selanjutnya ia menyelesaikan gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang dengan predikat Summa Cum Laude. Kemudian ia mengambil gelar Master di Universitas Malaya, Malaysia (2001) dan meraih gelar Doktor di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (S3-2009). Pada tahun 2010, ia dikukuhkan sebagai guru besar hukum tata negara Universitas Andalas. Selain menjadi direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), kini dia juga aktif menulis.
Saldi Isra (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review UU MK soal komposisi Majelis Kehormatan MK (MKMK). Alhasil, Komisi Yudisial (KY) dicoret dari anggota MKMK.

Judicial review diajukan oleh pengacara Ignatius Supriyadi. Tepatnya ia menguji Pasal 27A ayat 2 huruf b UU MK yang berbunyi:

Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotannya terdiri atas:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

a. 1 (satu) orang hakim konstitusi;

b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial;

ADVERTISEMENT

c. 1 (satu) orang akademisi yang berlatar belakang di bidang hukum;

MK mengabulkan judicial review itu.

"Menyatakan Pasal 27A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa '1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial' tidak dimaknai '1 (orang) dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun'," demikian bunyi putusan MK yang dikutip detikcom dari websitenya, Selasa (21/6/2022).

Putusan di atas senafas dengan dua putusan sebelumnya . Putusan pertama pada 2006 dan putusan kedua pada 2015. Kedua putusan sebelumnya menghapus peran KY untuk mengawasi hakim konstitusi.

"Pengawasan terhadap Hakim Konstitusi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dinilai Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat mewujudkan sifat independensi dan imparsialitasnya," ujar MK.

Hal tersebut sama halnya apabila dalam keanggotaan MKMK yang masih tetap melibatkan KY dalam melakukan penilaian (pengawasan) terhadap kinerja Hakim Konstitusi sehingga pada akhirnya hal tersebut tetap menempatkan atau menjadikan Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY.

"Padahal, dibentuknya MK berdasarkan UUD 1945 adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga negara. Sehingga, Mahkamah dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dapat merasa bebas merdeka tanpa tekanan dari pihak manapun," ucap MK.

Namun, agar tidak terjadi kekosongan keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (stagnan) dari salah satu unsur sebelum dilakukannya perubahan oleh pembentuk undang-undang, maka MK dapat menentukan pengganti unsur yang berasal dari KY adalah dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun, dalam rangka menjamin sikap netral dan independen keanggotaan MKMK nantinya.

"Sehingga, dengan adanya penggantian komposisi tersebut MK dapat segera melanjutkan penyusunan Peraturan Mahkamah Konstitusi mengenai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang saat ini sedang disusun oleh Mahkamah sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 27A ayat (7) UU a quo yang menyatakan pada pokoknya ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi," urai MK.

Putusan di atas tidak bulat. Saldi Isra memilih dissenting opinion. Saldi tidak mempermasalahkan KY menjadi anggota MKMK.

"Menjadi tidak beralasan apabila MKMK yang hanya bersifat ad hoc untuk memeriksa kasus konkret dan spesifik juga harus mengecualikan keterlibatan anggota Komisi Yudisial yang selama ini justru dengan pengalaman dan keahlianya telah banyak membantu Mahkamah Konstitusi, melalui MKMK, dalam menindaklanjuti adanya laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga," kata Saldi.

Lagi pula, secara kuantitatif, anggota KY hanyalah salah satu unsur dari lima unsur keanggotaan MKMK lainnya, selain Hakim Konstitusi, mantan Hakim Konstitusi, Guru Besar bidang hukum, dan tokoh masyarakat.

"Artinya, anggota Komisi Yudisial secara komposisi juga tidak memiliki pengaruh dominan dalam pelaksanaan tugasnya," tutur Saldi Isra.

Saldi Isra malah menyoroti anggota MKMK dari unsur hakim konstitusi. Bagaimana bila yang dilaporkan oleh masyarakat adalah 9 hakim konstitusi?

"Masalahnya, bagaimana jika semua (9 orang) hakim konstitusi yang dilaporkan, siapa yang akan menjadi anggota MKMK dari hakim konstitusi aktif?" tutur Saldi Isra.

Sayang, suara Saldi Isra kalah dengan 8 hakim konstitusi lainnya.

Simak juga 'Alasan Anwar Usman Harus Mundur dari Kursi Ketua MK':

[Gambas:Video 20detik]



(asp/mae)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads