Denpasar - Unik bin ajaib. Meski kantor Playboy Indonesia saat ini berada di Denpasar, tapi hingga detik ini edisi terbaru majalah itu belum juga beredar di Pulau Dewata.Menurut Endang Sancarini, bos Swasti Agency, yang ditunjuk sebagai agen Playboy di Denpasar, majalah Playboy baru dikirim semalam dari Jakarta. Rencananya hari ini tiba di Bali. "Tapi saya nggak tahu kok hingga sekarang belum sampai," kata Endang pada detikcom, Rabu (7/6/2006).Endang mengaku sudah mengecek ke Bandara Ngurah Rai maupun perjalanan via darat untuk mengecek keberadaan kiriman Playboy. Tapi kiriman itu belum ada juga."Nggak tahu Mas, mungkin setelah
press conference baru kita dikasih," katanya. Menurut rencana, petinggi Playboy akan menggelar jumpa pers pukul 15.00 Wita terkait penerbitan Playboy edisi dua.Endang memesan Playboy 600 eksemplar dan semuanya saat ini telah dipesan pembeli. "Istilahnya habis
on the paper," jelas Endang yang sama sekali belum tahu bagaimana wujud Playboy terbaru.Di majalah Playboy edisi 2, tercantum kantor Playboy beralamat di Jalan Tukad Citarum 999, Denpasar, Bali. Namun percetakan tetap di Jakarta yaitu di PT Percetakan Indo Nasional, Jalan Tentara Pelajar. Aktivitas kantor Playboy di Jalan Tukad Citarum juga tidak terlihat layaknya sebuah kantor. Tidak ada komputer, tidak ada pegawai wira-wiri, tidak ada kesibukan pemotretan, layaknya sebuah kantor majalah.
Tak Masalah Berkantor di BaliSementara itu, Ketua Parisada Hindhu Dharma Indonesia (PDHI) di Bali, Made Artha, tidak mempermasalahkan Playboy berkantor di Bali. Tapi PHDI tetap menginginkan Playboy mengacu pada budaya dan agama. Dia juga berjanji akan melakukan evaluasi terhadap majalah Playboy. "Saya akan meminta para ahli budaya dan agamawan untuk melakukan evaluasi. Masyarakat pun saya harap ikut menilai. Jika setelah evaluasi kita melihat Playboy seperti di AS, kita tidak mentolerir. Kita akan mengusulkan pada pemerintah untuk menolak Playboy di Bali," jelasnya.Made Artha mengaku sudah membaca Playboy edisi satu dan menurutnya, isinya tidak terlalu vulgar dan banyak membahas budaya. "Playboy mereknya tidak bagus karena kesannya sebagai majalah porno sehingga mendapat reaksi keras. Tapi saya bingung juga ada majalah yang
trademark-nya tidak porno, tapi isinya porno malah dibiarkan," kritiknya.
(nrl/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini