Precious One merupakan sebuah yayasan pemberdayaan bagi penyandang disabilitas. Di sini, para penyandang disabilitas diberi wadah untuk berkarya, terutama dalam membuat produk fesyen, aksesori, dan produk custom lainnya.
Adalah Ratnawati Sutedjo, seorang sociopreneur di balik berdirinya Precious One. Akibat mengalami sakit hepatitis A hingga tak bisa beraktivitas selama dua bulan lamanya di tahun 2001, membuat Ratna memikirkan ulang apa makna hidupnya. Dalam kondisi terendahnya, Ratna bernazar, akan hidup dekat dengan para difabel apapun bentuknya.
"Saya merasa hidup saya nggak berguna dan tak berarti. Saya memikirkan, bagaimana dengan teman disabilitas?" kenang Ratna saat ditemui tim detikcom untuk program Sosok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari refleksi itu, Ratna mengajak para difabel untuk bekerja demi memperbaiki ekonomi mereka. Sejak 2004 hingga kini, Ratna beserta para kolega difabelnya terus berkolaborasi dan semakin berdaya dengan karya-karya berkualitas buatan tangan mereka. Hal ini tentu berkaitan dengan bagaimana hubungan Ratna dan anggota Precious One yang dekat dan selalu saling membantu.
"Singkat cerita saya sembuh saya akhirnya belajar bahasa isyarat, mulai bergaul, berteman dengan mereka, dan ketika berteman ternyata mereka bercerita bahwa hidup mereka sulit, mereka kepingin bekerja, mereka kepingin punya penghasilan," terang Ratna.
Pertemuan tersebut membuka mata Ratna terhadap diskriminasi yang sering dialami penyandang disabilitas. Mulai dari sulitnya mendapat pekerjaan, hingga perundungan yang kerap mereka alami.
"Mereka (penyandang disabilitas) punya perasaan bahwa, 'Aku lebih baik nggak bergaul sama non disabilitas,' karena sering mengalami perundungan dan mereka sering mengalami rasa tidak terima dan bahkan mungkin diejek karena cara berkomunikasi mereka," jelas Ratna.
Meski bukan penyandang disabilitas, Ratna sendiri mampu menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan pekerja tuli di Precious One. Hal ini lantas membuat para pekerja merasa nyaman dan diterima.
Baca kelanjutan kisah Ratna Sutedjo di halaman berikutnya.
Di sela-sela pembuatan baju pesanan dari Amerika, Ayat, salah seorang pegawai Precious One menuturkan hal serupa. "Kalau di sini Bu Ratna merangkul anak-anaknya, jadi sudah seperti orang tua sampai kakak sendiri. Enaknya di sini mungkin karena dekat terus di sini juga teman-teman saling men-support. Saling sama-sama, tidak masing-masing. Kalau ada kendala, ada jahitan banyak, kita saling bantu," jelasnya.
Ratna juga menyadari bahwa sebagian besar masyarakat menganggap bahwa hasil karya penyandang disabilitas kerap dipandang sebelah mata. Kendati mempekerjakan penyandang disabilitas, Ratna menekankan bahwa Precious One tak hanya mengandalkan belas kasihan untuk penjualan produknya. Baginya, dengan menyajikan produk berkualitas baik, Precious One ingin mengedukasi masyarakat untuk mengurangi stigma buruk terhadap hasil kerja penyandang disabilitas.
Kini, karya-karya mereka seperti baju batik, sarung bantal, boneka jari, dan sejenisnya laris di pasar domestik hingga mancanegara. Pesanan baju dari Amerika serta Eropa sudah tidak terhitung lagi banyaknya. Belum lagi karya yang dibuat atas kerja sama dengan desainer fesyen ternama di Indonesia, corak-corak kain itu menjadi lebih apik setelah dirangkai dengan senyap oleh para teman-teman tuli.
Belum lama, Ratna berhasil memamerkan karya boneka ke ajang G20 di Yogyakarta. Hal ini terjadi karena pengalaman mereka yang sukses membuat official merchandise perhelatan olah raga terbesar di Asia tenggara 2018 lalu.
"Dengan kita berusaha menghasilkan karya yang baik, ini bagian dari edukasi yang kami berikan, lewat karya. Jadi ketika mereka melihat, mereka beli atau mereka memegang (produknya), mereka mencoba makanan, dan ketika, contoh, makanannya ternyata enak, 'Wah yang bikin siapa?' gitu ya. Ataupun mereka nggak tahu siapa yang bikin, akhirnya stigma mereka berubah," jelas Ratna.
Bagi Ratna, semua ini dilihat sebagai berkat yang diterimanya melalui Hepatitis A. dengan begitu, ia berkesempatan merasakan sulitnya mengendalikan organ tubuh yang membuatnya merasa dekat dengan kehidupan para difabel.