Analisis Pakar dan Akademisi soal Tantangan Demokrasi Setelah Reformasi

Analisis Pakar dan Akademisi soal Tantangan Demokrasi Setelah Reformasi

Zunita Putri - detikNews
Senin, 23 Mei 2022 16:11 WIB
Ilustrasi jari yang dicelupkan ke tinta usai pemilu
Ilustrasi Pemilu (Dikhy Sasra/detikcom)
Jakarta -

Dosen Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menilai tantangan reformasi saat ini sangat besar. Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan pemerintah.

"Tantangan reformasi di usia ke-24 tahun sekarang amat besar. Terbaru adalah kelalaian Kemendagri dalam menerbitkan aturan pelaksanaan yang sesuai mekanisme demokratis dengan pemilihan umum/pilkada," kata Hendri Satrio kepada wartawan, Senin (23/5/2022).

Pria yang akrab disapa Hensat itu menyoroti perihal pergantian kepala daerah yang ditunjuk langsung oleh Kemendagri. Menurutnya, penunjukan langsung ini hanya mengulang keburukan Orde Baru.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penunjukan langsung pejabat tanpa pilkada hanya akan mengulang keburukan masa Orde Baru," ucapnya.

Tak hanya itu, menurut Hensat, ada tantangan lain yang dinilai bisa merusak demokrasi, salah satunya putusan MK tentang UU Cipta Kerja yang harus direvisi, namun sampai kini belum juga ada tindak lanjut. Masalah lainnya adalah masalah HAM.

ADVERTISEMENT

"Presiden Jokowi semestinya menempatkan masalah HAM dan agenda antikorupsi pada level pertama concern sebagai kepala negara. Hal itu tentunya harus dilakukan di tengah serangan berat ke arah kemunduran demokrasi di Indonesia. Jokowi seharusnya menggerakkan seluruh elemen rakyat untuk meningkatkan kualitas demokrasi, dan bukan dengan memainkan drama anti demokrasi dengan memerintahkan pendukungnya untuk menunggu arahan terkait capres 2024," paparnya.

Kemudian tantangan lainnya adalah melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika, kelangkaan minyak goreng, serta kenaikan harga BBM.

Hal senada disampaikan oleh Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Dr Wijayanto. Dia mengungkapkan hal-hal yang berpotensi membunuh demokrasi. Ada empat kondisi.

Pertama, kondisi di sisi struktural, dia mencontohkan pelemahan KPK dengan adanya revisi UU KPK pada 2019. Kemudian upaya pelemahan masyarakat sipil yang kritis.

Kedua, lanjut Wijayanto, sisi institusional yaitu adanya money politics menjelang pesta politik. Dan dilanjut dengan sisi agency yang sama-sama menyoroti perihal pemilu.

"Pemilu yang semula didesain untuk memilih wakil rakyat dibajak oleh oligarki menjadi penyambung lidah oligarki. Hal itu karena pemilu hari ini telah menjadi ajang money politics," tutur Wijayanto.

Terakhir, dosen Fisip UNDIP itu menyebut Indonesia perlu budaya politik sehat jika ingin sistem demokrasi yang baik. Salah satunya, yaitu agar tidak perlu lagi ada politik identitas dengan istilah cebong-kampret.

"Sisi kultural, demokrasi membutuhkan budaya politik yang sehat. Sayangnya, hal itu belum menjadi kebutuhan yang terdepan di Indonesia. Feodalisme masih menjadi hambatan terbesar elit politik yang menghalangi agenda membangun budaya dialog dan berbeda pendapat, perbedaan pendapat bahkan telah menjadi petaka bagi aktivis yang mencoba berbeda pendapat, sebagaimana yang dialami oleh Haris Azhar dan Fathia, sementara di akar rumput yang seharusnya menjadi ajang diskusi sehat, terbelah oleh politik identitas kadrun dan cebong," tegas Wijayanto.

Sementara itu, akademisi UGM dan LP3ES, Dr Herlambang Wiratraman, menyebut ada 5 hambatan terbesar demokrasi dari sudut pandang hukum. Apa saja?

"Kesatu, impunitas yang menyebabkan gagalnya tindakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM masa orde baru dan koruptor yang tidak bisa dimintakan pertangggungjawaban. Kedua, terjadi kekerasan yang melibatkan faktor politik atau struktural dalam kasus-kasus konflik lahan dan sumber daya alam," kata Herlambang.

Ketiga, lanjutnya, kuatnya politik oligarki yang masuk ke sistem kekuasaan. Karena itu, korupsi terus terjadi, institusionalisasi semakin lekat dalam anggaran negara.

Herlambang menyebut hambatan keempat adalah adanya pelemahan dan pelumpuhan kebebasan dasar, kebebasan pers, kebebasan sipil serta represi, kriminalisasi melemahkan demokrasi konstitusional melalui serangan media, polarisasi, dan pendangkalan via proses manipulasi.

"Kelima, publik memerlukan cara pandang baru dalam demokrasi konstitusional. kajian tentang bagaimana kekuasaan justru memanfaatkan instrumen demokrasi via kelembagaan demokrasi," pungkas Herlambang.

Halaman 2 dari 2
(zap/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads